periskop.id - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana mengenakan bea ekspor emas hingga 15 persen mulai tahun 2026. Kebijakan ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur ketentuan teknis pengenaan bea keluar untuk produk emas.

Pengamat ekonomi Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P. Sasmita menilai, rencana tersebut berpotensi menurunkan volume ekspor emas mentah karena struktur biaya akan meningkat.

“Tetapi nampaknya justru itu yang menjadi tujuan pemerintah, yakni ingin mendorong agar lebih banyak emas diproses di dalam negeri. Jika kapasitas pemurnian dan infrastruktur mendukung, produksi domestik yang bernilai tambah lebih tinggi akan meningkat,” kata Ronny kepada Periskop, Rabu (19/11).

Ronny menilai kebijakan ini secara prinsip dapat berjalan baik, namun idealnya diterapkan secara bertahap dengan masa transisi. Ia menyarankan tarif yang lebih fleksibel atau progresif, misalnya membedakan antara emas mentah dan emas yang telah dimurnikan, agar lebih adil dan efektif.

Menurutnya, tarif hingga 15 persen cukup tinggi bagi sebagian pelaku usaha. Penerapan tanpa persiapan dikhawatirkan menimbulkan gangguan pada produksi maupun ekspor.

Kebijakan ini juga dinilai dapat mendorong perusahaan meninjau ulang strategi bisnis mereka. Dampaknya akan terbatas bagi perusahaan yang sudah memiliki fasilitas pemurnian, namun bisa menekan margin bagi eksportir emas setengah jadi.

“Dalam jangka pendek, industri bisa mengalami penyesuaian, terutama bagi produsen yang belum siap masuk hilirisasi,” jelasnya.

Ronny menyebut harga emas domestik berpotensi bergerak dua arah. Jika lebih banyak emas tertahan di dalam negeri, harga bisa stabil atau menurun. Sebaliknya, apabila kebijakan ini menekan produksi, harga bisa naik.

“Bagi investor, arah kebijakan ini bisa membuka peluang baru di sektor pemurnian dan produk hilir emas, tetapi hanya jika ada kepastian regulasi dan dukungan investasi dari pemerintah,” terangnya.

Ia menambahkan kebijakan ini berpeluang meningkatkan penerimaan negara, terutama ketika harga emas global tinggi. Namun potensi itu dapat berkurang apabila ekspor merosot atau produsen menahan produksi.
“Jadi efeknya sangat tergantung pada respons industri,” paparnya.

Ronny juga mengingatkan adanya sejumlah risiko, seperti menurunnya daya saing produsen emas mentah, berkurangnya produksi akibat margin tertekan, serta peluang praktik pengalihan ekspor untuk menghindari bea.

Selain itu, ketidakpastian biaya dapat memengaruhi minat investasi. Karena itu, ia menekankan pentingnya aturan transisi yang jelas dan insentif agar hilirisasi berjalan tanpa mengganggu stabilitas industri.

“Karena itu, kebijakan ini perlu didukung oleh aturan transisi yang jelas dan insentif agar hilirisasi benar-benar terjadi tanpa mengganggu stabilitas industri,” tutupnya.