periskop.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa beberapa Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) terkait dugaan praktik jual-beli kuota haji khusus.

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan, penyidik sedang mendalami tindakan PIHK dalam melakukan transaksi kuota haji, mulai dari perbedaan harga, fasilitas layanan, hingga praktik jual-beli antar-PIHK.  PIHK yang tidak memiliki izin penyelenggaraan diduga membeli kuota dari PIHK yang sudah memiliki alokasi resmi.

“Kami ingin melihat apakah layanan yang dijanjikan sebanding dengan biaya yang dibayarkan calon jamaah,” kata Budi, di Gedung KPK, Senin (17/11).

Budi menjelaskan, pemeriksaan terbaru telah dilakukan dengan memanggil PIHK di berbagai wilayah, mulai dari Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat, Makassar, hingga Kalimantan Timur. KPK juga memanggil PIHK dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.

“Setiap daerah memiliki pola berbeda dalam praktik jual-beli kuota tersebut,” tutur dia.

Budi menegaskan kasus ini muncul dari adanya diskresi pembagian kuota haji yang diduga bertentangan dengan ketentuan. Kuota haji nasional yang seharusnya 92 persen untuk reguler dan 8 persen untuk haji khusus, tiba-tiba diubah menjadi 50 banding 50.

“Akibat diskresi itu, jatah reguler tergerus dari 92 persen menjadi 50 persen. Sementara kuota haji khusus melonjak drastis dari sekitar 1.600 menjadi sekitar 10.000,” jelas Budi.

Selain memanggil PIHK dan asosiasinya, penyidik juga terus memeriksa pihak-pihak di Kementerian Agama yang mengetahui proses penerbitan diskresi tersebut.

“Kami ingin mendalami motif di balik diskresi itu. Karena ini menjadi akar munculnya praktik jual-beli kuota,” ucap Budi.

Sebelumnya, pada 9 Agustus 2025, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama 2023–2024.

Pengumuman tersebut dilakukan usai KPK meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam penyelidikan kasus pada 7 Agustus 2025.

KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih dan mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, salah satunya adalah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. KPK menduga sebanyak 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji terlibat kasus tersebut.

Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI juga mengungkapkan kejanggalan ibadah haji 2024. Salah satu kejanggalan utamanya adalah pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi. Pasalnya, saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.