periskop.id - Gelombang demonstrasi yang melanda sejumlah wilayah Indonesia pada akhir Agustus lalu meninggalkan kesan yang kurang menguntungkan di mata publik internasional. Sejumlah insiden seperti pembakaran, penjarahan, hingga bentrokan menjadi sorotan media asing.

Dampak dari pemberitaan tersebut membuat beberapa negara mengeluarkan imbauan perjalanan (travel advisory) bagi warganya yang berada atau akan berkunjung ke Indonesia. Negara-negara tersebut antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Prancis, Jepang, Filipina, Inggris, dan Kanada.

Secara prinsip, travel advisory adalah instrumen kewaspadaan standar yang dikeluarkan pemerintah suatu negara untuk melindungi warganya di luar negeri. Sifatnya lebih sebagai imbauan dibanding larangan (travel ban), yakni langkah antisipasi terhadap potensi risiko keamanan. Namun, dalam praktiknya, label ini kerap menimbulkan efek psikologis yang lebih besar daripada substansinya.

Mengutip Antara, Rabu (3/9) bagi sebagian publik internasional, istilah travel warning memunculkan gambaran Indonesia sebagai negara yang bergolak dan tidak aman untuk dikunjungi. Padahal, kondisi di lapangan tidak selalu mencerminkan narasi tersebut.

Kehidupan masyarakat di banyak daerah tetap berjalan normal, pusat wisata tetap ramai, dan harmoni sosial terjaga. Tantangannya adalah bagaimana mengikis stigma global akibat travel advisory sambil menampilkan wajah Indonesia yang sebenarnya: aman, ramah, dan terbuka bagi wisatawan.

Salah satu contoh datang dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski ikut disebut dalam pemberitaan nasional terkait eskalasi demonstrasi, daerah ini tetap mampu mempertahankan citra sebagai destinasi wisata yang kondusif.

Ketika sebagian media internasional menggambarkan Indonesia dengan nuansa penuh kegaduhan, NTB justru tampil sebagai oase ketenangan. Kawasan wisata seperti Mandalika, Sembalun, dan Gili Trawangan tetap berdenyut dengan aktivitas pariwisata, nyaris tanpa gangguan.

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan bahwa masyarakat di daerahnya cukup matang dalam menyikapi dinamika politik nasional. 

“Kultur dialogis dan sikap gotong royong yang kuat membuat potensi gesekan bisa dikelola dengan baik,” ujarnya.

Iqbal bahkan menganalogikan peringatan tersebut seperti pesan orang tua kepada anak sebelum bepergian: sekadar pengingat untuk berhati-hati, bukan larangan untuk melangkah. Pesan ini mencerminkan kesiapan NTB menyambut tamu dari berbagai belahan dunia.

Ramahnya masyarakat, kesiapan infrastruktur pariwisata, dan dukungan pemerintah daerah menjadi modal penting yang memperkuat daya tarik NTB di mata wisatawan domestik maupun mancanegara. NTB ingin menunjukkan bahwa wajah Indonesia tidak tunggal, dan dari daerah-daerah seperti inilah lahir gambaran bangsa yang stabil dan bersahabat.

Tantangan terbesar Indonesia bukan hanya soal keamanan teknis, tetapi juga persepsi global. Setiap kerusuhan yang viral di media asing mudah menempelkan stigma bahwa Indonesia tidak aman. Padahal, aksi massa adalah bagian dari dinamika demokrasi, seperti yang juga terjadi di Amerika Serikat atau Prancis, tanpa membuat negara tersebut kehilangan daya tarik wisata.