periskop.id - Gelombang inflasi tinggi menelan kenaikan gaji di Jepang. Di bawah kepemimpinan perdana menteri baru Sanae Takaichi, upah riil justru terus tertekan, menandai tantangan awal bagi upaya menghidupkan kembali kebijakan “Abenomics”.

Melansir dari CNBC, data Kementerian Ketenagakerjaan Jepang menunjukkan upah riil turun selama sembilan bulan berturut-turut hingga September 2025. Secara tahunan, upah riil belum menunjukkan kenaikan sejak 2021, menandakan tekanan yang semakin besar terhadap konsumsi rumah tangga.

Sementara itu, upah nominal tercatat naik 1,9% secara tahunan pada September. Namun, inflasi yang masih tinggi membuat pendapatan riil pekerja justru tergerus hingga 1,4%.

Situasi ini muncul di tengah upaya Takaichi menghidupkan kembali semangat “Abenomics”, kebijakan peninggalan mendiang Shinzo Abe yang berfokus pada tiga pilar utama, pelonggaran moneter agresif, stimulus fiskal besar-besaran, dan reformasi struktural.

Dalam beberapa pekan pertamanya menjabat, Takaichi dilaporkan tengah menyiapkan paket stimulus senilai 13,9 triliun yen atau Rp1.504 triliun (kurs Rp108,22) untuk membantu rumah tangga menghadapi kenaikan harga. 

Sementara itu, Nikkei menyebut nilai paket tersebut diperkirakan lebih dari 10 triliun yen, mencakup subsidi listrik dan gas serta bantuan bagi usaha kecil dan menengah guna mendorong kenaikan upah.

Namun, rencana pengeluaran besar itu berpotensi berbenturan dengan upaya Jepang menekan inflasi yang telah melampaui target Bank of Japan (BoJ) sebesar 2% selama 41 bulan berturut-turut. Inflasi utama pada September tercatat 2,9%, sementara pengeluaran rumah tangga hanya tumbuh 1,8%, lebih rendah dari ekspektasi ekonom sebesar 2,5%.

“Survei opini menunjukkan inflasi kini menjadi kekhawatiran utama pemilih Jepang. Jika Takaichi menanggapi dengan langkah populis seperti subsidi energi atau bantuan tunai, hal itu justru dapat menambah tekanan inflasi,” ujar Kepala Asia Pasifik di Capital Economics, Marcel Thieliant, Senin (10/11).

Selain itu, ruang fiskal Jepang juga semakin sempit. Ekonom Asia HSBC, Justin Feng, memperingatkan paket stimulus besar yang dibiayai obligasi pemerintah dapat melemahkan kredibilitas fiskal negara tersebut.

Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), rasio utang terhadap PDB Jepang mencapai hampir 250% pada 2023, salah satu yang tertinggi di dunia.

Tekanan inflasi yang terus berlangsung juga dapat memaksa Takaichi meninjau kembali kebijakan moneter longgar yang cenderung mempertahankan suku bunga rendah. Kebijakan tersebut sebelumnya dinilai melemahkan yen dan meningkatkan biaya impor.

“Data upah riil terbaru mencerminkan tekanan inflasi yang persisten di Jepang. Jika Bank of Japan tidak bertindak proaktif dan tepat waktu, mereka berisiko tertinggal dalam merespons dinamika harga,” tegas Feng.