Periskop.id - Indonesia menempati peringkat ke-7 dalam laporan Chainalysis Global Crypto Adoption Index 2025. Posisi ini turun dari posisi ke-3 pada tahun sebelumnya.
Indonesia kini berada di bawah Amerika Serikat (AS) dan Vietnam yang berhasil masuk empat besar bersama India serta Pakistan. Selain empat negara tersebut, Nigeria dan Brasil juga menyalip Indonesia dalam daftar sepuluh besar.
Dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (11/9), CEO Tokocrypto Calvin Kizana menuturkan, meski masih bertahan di jajaran teratas dunia, penurunan ini mencerminkan adanya tantangan bagi Indonesia untuk mempertahankan momentum pertumbuhan adopsi kripto.
Chainalysis tahun ini menambahkan sub-indeks baru yang menilai aktivitas institusional, khususnya transaksi bernilai di atas US$ 1 juta. Negara dengan ekosistem finansial matang seperti AS, India, dan Brasil mendapat dorongan besar dari partisipasi institusi, termasuk kehadiran produk ETF Bitcoin spot.
"Sebaliknya, Indonesia masih lebih kuat di segmen ritel dan DeFi, yang justru bobotnya kini dipangkas dari metodologi. Akibatnya, kontribusi Indonesia terlihat lebih kecil meski aktivitas ritel dan DeFi sebenarnya masih masif," kata dia.
Meski demikian, Calvin menerangkan penurunan peringkat bukan berarti minat masyarakat Indonesia melemah. Indonesia dinilai masih punya fondasi yang sangat kuat di adopsi ritel.
“Populasi besar, penetrasi digital tinggi, dan minat generasi muda pada aset digital menjadikan kita salah satu pasar paling potensial di dunia. Peringkat ini adalah pengingat bahwa kita harus bergerak lebih cepat dalam memperkuat sisi institusional agar bisa melengkapi kekuatan ritel yang sudah mapan,” bebernya.
Calvin menilai ada dua jalur strategis agar Indonesia bisa memperbaiki posisinya ke depan. Pertama, meningkatkan partisipasi institusi di pasar spot domestik agar volume transaksi besar lebih tercatat. Kedua, mendorong kehadiran produk ETF kripto lokal sehingga investor institusional memiliki jalur investasi yang aman, transparan, dan legal.
“Kami telah memulai langkah konkret dengan menghadirkan layanan Tokocrypto Prestige, sebuah layanan premium untuk mendukung kebutuhan investor institusional dan high-net-worth individuals. Langkah ini diharapkan bisa memperkuat kontribusi Indonesia di level global,” jelas Calvin.
Kemudian, ia menekankan perlunya sinergi regulator, industri, dan masyarakat untuk mempercepat transformasi ekosistem kripto.
“Jika regulasi bisa lebih pro-pertumbuhan, hadirnya ETF lokal dan produk institusional akan mempercepat transformasi. Di saat yang sama, literasi masyarakat tentang stablecoin untuk remitansi, pembayaran lintas negara, hingga pemanfaatan Web3 akan membuka peluang baru. Inilah kunci agar Indonesia kembali ke lima besar dunia, bahkan lebih tinggi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Calvin menilai, meski peringkatnya menurun, posisi Indonesia tetap strategis di mata global. Potensi integrasi kripto dengan ekosistem Web3, dukungan perbankan digital, serta penetrasi teknologi finansial yang luas membuat Indonesia tetap diperhitungkan sebagai pasar utama.
Calvin menegaskan, peningkatan literasi keuangan digital menjadi kunci agar masyarakat tidak hanya melihat kripto sebagai instrumen perdagangan semata, melainkan juga sebagai sarana inovasi dan pengembangan ekonomi digital.
“Kita harus optimistis. Penurunan peringkat ini bukan akhir, melainkan awal dari babak baru untuk mendorong ekosistem kripto yang lebih matang, inklusif, dan berdaya saing global,” tuturnya.
September Effect
Sebelumnya, pelaku perdagangan aset kripto menyatakan fenomena "September Effect" tidak menggoyahkan pasar kripto di dalam negeri hal itu terbukti dengan masih tingginya transaksi hingga Juli 2025.
Vice President Indodax Antony Kusuma menyebutkan, industri aset kripto dan juga saham memasuki bulan September dengan perhatian khusus pada fenomena yang dikenal sebagai "September Effect", sebuah anomali musiman yang kerap dikaitkan dengan penurunan kinerja pasar saham maupun kripto.
Menurut dia dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu "September Effect" perlu dipahami secara proporsional, sehingga anomali tersebut tidak seharusnya menjadi patokan tunggal dalam menentukan strategi investasi kripto.
"Kami melihat ‘September Effect’ lebih bersifat psikologis ketimbang fundamental. Jika kita bandingkan, di 2024 transaksi penuh setahun Rp344 triliun, sementara 2025 baru berjalan hingga Juli sudah menembus Rp276 triliun," ucapnya.
Hal itu, lanjutnya, membuktikan, kripto di Indonesia terus tumbuh kuat, bahkan di tengah faktor musiman. Ia menambahkan, investor perlu mengedepankan strategi diversifikasi portofolio serta manajemen risiko jangka panjang, oleh karena itu investasi kripto harus dilakukan secara rasional.
"Prinsipnya bukan market timing, melainkan konsistensi, pemahaman aset, dan disiplin dalam bertransaksi," katanya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Digital, dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hasan Fawzi, mengingatkan investor agar berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi di tengah fenomena "September Effect".
Fenomena tersebut diyakini dipengaruhi oleh penyesuaian portofolio pasca musim liburan, kebutuhan likuiditas, hingga faktor psikologis investor global. Meski demikian, data OJK menunjukkan industri kripto Indonesia justru tetap mencatat kinerja impresif.
Terlihat sepanjang Juli 2025, transaksi kripto mencapai Rp52,46 triliun, melonjak 62,36 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp32,31 triliun. Secara kumulatif, total nilai transaksi kripto di 2025 telah menembus Rp276,45 triliun.
Jumlah investor juga terus bertambah, dimana per Juli 2025, OJK mencatat total 16,5 juta konsumen aset kripto, naik 4,11 persen dibandingkan Juni 2025 sebanyak 15,85 juta.
Sementara itu pada 2024, OJK mencatat total nilai transaksi kripto mencapai Rp344,09 triliun sepanjang tahun penuh, tumbuh lebih dari 354 persen dibandingkan 2023. Secara bulanan, transaksi Juli 2024 tercatat sebesar Rp42,34 triliun, naik dari Rp40,85 triliun pada Juni 2024. Angka tersebut lebih rendah dibanding capaian Juli 2025 yang mencapai Rp52,46 triliun.
Tinggalkan Komentar
Komentar