periskop.id - Seiring meningkatnya penggunaan alat pembayaran digital seperti QRIS dan sistem nontunai, sejumlah praktik di lapangan justru dinilai bertentangan dengan regulasi resmi yang berlaku di Indonesia. Dua praktik yang paling umum terjadi adalah penambahan biaya transaksi saat menggunakan QRIS dan penolakan pembayaran dengan uang tunai oleh merchant.

Tidak sedikit konsumen melaporkan dikenakan biaya tambahan saat membayar menggunakan QRIS di berbagai merchant. Praktik ini secara hukum tidak dibenarkan.

Bank Indonesia melalui Pasal 52 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran secara tegas melarang merchant mengenakan biaya tambahan atas penggunaan alat pembayaran non-tunai, termasuk QRIS.

Selain itu, kerap ditemukan sejumlah pelaku usaha yang menerapkan sistem cashless only atau hanya menerima pembayaran digital. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah dan wajib diterima di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 21 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi pembayaran. Sementara Pasal 23 ayat (1) melarang siapapun menolak rupiah yang ditujukan sebagai alat pembayaran.

Jika tidak ada kesepakatan sebelumnya atau tidak ada alasan kuat seperti dugaan uang palsu, penolakan terhadap pembayaran tunai dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang bahkan mengatur sanksi berupa denda maksimal Rp200 juta atau pidana penjara hingga satu tahun bagi pihak yang menolak pembayaran tunai tanpa alasan yang sah.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doni Primanto Joewono menegaskan bahwa pedagang wajib menerima pembayaran uang tunai.

"Walaupun BI mendorong digitalisasi, tapi kita wajibkan merchant menerima uang rupiah dalam bentuk fisik," ujar Doni.