periskop.id - Apakah wajah Republik Indonesia akan sama jika tampuk kepemimpinan pada 1945 tak berada di tangan Soekarno, melainkan digenggam oleh tokoh revolusioner yang tak kenal kompromi, Tan Malaka? Pertanyaan ini mungkin terasa spekulatif, namun merunut rekam jejak dan gagasan-gagasan besarnya, kita bisa melihat sebuah skenario alternatif yang radikal. Republik yang lahir dari rahim Tan Malaka kemungkinan besar adalah negara yang lebih militan, rasional, dan taktis, namun juga berisiko tinggi.
Mengapa Tan Malaka Berbeda?
Garis besar ideologi Tan Malaka adalah Madilog—Materialisme, Dialektika, Logika—yang ia tulis sebagai seruan untuk mengganti “logika mistik” dengan cara berpikir ilmiah. Ini bukan sekadar filsafat, melainkan fondasi untuk membangun negara modern yang anti-kompromi terhadap penjajah.
Pada awal 1946, ia memimpin koalisi Persatuan Perjuangan yang menuntut kemerdekaan 100% tanpa syarat, menolak perundingan yang melemahkan kedaulatan. Dokumen politiknya yang paling jelas adalah Minimum Program 7 butir, yang mencakup:
- Berunding dengan tujuan pengakuan kemerdekaan 100 persen
- Pemerintahan rakyat (kemauan pemerintah harus sesuai dengan kemauan rakyat)
- Tentara rakyat (kemauan tentara harus sesuai dengan kemauan rakyat)
- Menyelenggarakan tawanan Eropa
- Melucuti senjata Jepang
- Menyita hak dan milik musuh
- Menyita perusahaan (pabrik, dll) dan pertanian (perkebunan, pertambangan, dll) dari musuh
Ketujuh butir tersebut adalah cetak biru kebijakannya, jika ia memegang kekuasaan eksekutif.
Strategi Perang, Bukan Diplomasi
Jika Tan Malaka adalah presiden, perjanjian Linggarjati dan Renville—yang ia tentang habis-habisan—hampir pasti tidak akan pernah terjadi. Ia akan memaksimalkan strategi perang gerilya yang ia rumuskan sendiri dalam GERPOLEK (Gerilya–Politik–Ekonomi). Ini adalah manual tentang bagaimana memadukan perang, mobilisasi politik, dan ekonomi perang untuk memukul mundur Belanda.
Perlawanan kerasnya terhadap politik kompromi historisnya pernah membuat kabinet Sjahrir tertekan, bahkan berujung pada penangkapannya sendiri. Di bawah kepemimpinan Tan Malaka, garis keras ini akan menjadi doktrin resmi negara: berunding hanya setelah kedaulatan diakui. Konsekuensinya, perang kemerdekaan mungkin akan lebih panjang, namun risiko federalisasi ala Belanda, seperti Republik Indonesia Serikat (RIS), bisa ditepis sejak dini.
Ekonomi dan Pendidikan yang Revolusioner
Minimum Program Tan Malaka secara eksplisit menyerukan penyitaan perkebunan dan industri "musuh". Ini berarti, nasionalisasi aset Belanda akan terjadi lebih cepat, menggeser keseimbangan ekonomi ke tangan negara dan rakyat.
Dirinya juga secara tegas menolak kompromi dengan modal asing.
“Rencana segelintir ahli ekonomi yang bekerja sama dengan modal besar asing hanya akan membawa penindasan pada buruh dan tani Indonesia. Kaum proletar harus melaksanakan rencana ekonomi besar-besaran hingga revolusi berakhir dengan kemenangan proletariat,” tulisnya dalam buku berjudul GERPOLEK (Gerilya–Politik–Ekonomi).
Gagasan ini sangat idealis dan revolusioner karena di satu sisi dapat mempercepat kemandirian ekonomi nasional. Namun di sisi lain, langkah ini berisiko memutus akses terhadap teknologi dan kredit dari luar negeri, mengingat dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan permodalan Indonesia di kala itu, belum cukup mampu membuat bangsa ini berdikari secara ekonomi.
Di bidang pendidikan, Tan Malaka kemungkinan akan menjadikan Madilog sebagai kurikulum utama. Ini akan mendorong literasi ilmiah, pendidikan teknik, dan rasionalisasi pengambilan keputusan di pemerintahan. Tujuannya jelas, membongkar pola pikir non-ilmiah yang menghambat kemajuan bangsa.
Risiko di Balik Pilihan Ekstrem
Jalur Soekarno adalah kombinasi diplomasi dan perang, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, meski harus melewati fase RIS. Jalur Tan Malaka, sebaliknya, menolak kompromi sejak awal dan memaksimalkan perang gerilya.
Namun, pilihan ini datang dengan risiko internal yang besar. Tanpa kelenturan untuk merangkul kelompok moderat, koalisi politiknya bisa saja retak. Gesekan dengan kelompok Masyumi dan PSI, yang pro-diplomasi, akan semakin tajam, berpotensi memicu krisis politik. Di sisi lain, pendekatannya yang lebih dekat ke jejaring Asia dan blok sosialis akan memperkuat posisi tawar militer, namun juga menajamkan friksi dengan kekuatan Barat.
Pada akhirnya, jika Tan Malaka menggantikan Soekarno, watak republik akan lebih militan, rasional, dan statis terhadap modal asing. Kedaulatan “100%” bisa tercapai tanpa fase RIS, tetapi biaya sosial dan ekonomi yang harus dibayar mungkin jauh lebih besar. Pilihan sejarah pada 1945–1949 memang bukan soal benar-salah mutlak, melainkan tentang trade-off.
Tan Malaka menawarkan kejelasan tujuan dan prinsip yang tak goyah, sementara Soekarno menawarkan kelenturan untuk menyatukan beragam elemen bangsa. Pada akhirnya, sejarah membuktikan, di masa-masa penuh gejolak itu, kelenturanlah yang berhasil mengonsolidasikan Indonesia hingga mencapai kemerdekaan.
Tinggalkan Komentar
Komentar