periskop.id - Kendaraan hibrida jenis Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) selama ini dipasarkan sebagai jembatan menuju era mobil listrik penuh. Namun, sebuah studi terbaru dari organisasi Transport & Environment (T&E) justru menimbulkan keraguan besar. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan PHEV dalam penggunaan nyata jauh lebih tinggi dibandingkan klaim resmi produsen.
Dalam laporan yang dilansir dari Antara, Senin (27/10), T&E menguji ribuan unit PHEV di Eropa dan menemukan bahwa rata-rata emisi mencapai 139 gram CO2 per kilometer. Angka ini hampir lima kali lipat lebih besar dari klaim resmi produsen yang hanya sekitar 28 gram per kilometer.
“PHEV yang digunakan sehari-hari ternyata menghasilkan CO2 rata-rata 139 gram per kilometer, jauh dari klaim resmi produsen,” tulis laporan itu.
Kesenjangan ini mengaburkan ekspektasi konsumen. Banyak pembeli PHEV berharap dapat menghemat biaya bahan bakar sekaligus berkontribusi pada pengurangan emisi. Namun, kenyataannya, mereka justru menghadapi konsumsi bensin lebih tinggi dan jejak karbon yang tidak sejalan dengan harapan lebih ramah lingkungan.
Menurut T&E, perbedaan besar ini terjadi karena metode penghitungan emisi yang digunakan produsen terlalu optimistis. Produsen berasumsi bahwa pengguna akan lebih sering mengoperasikan mobil dalam mode listrik penuh. Padahal, dalam praktiknya, banyak pemilik PHEV yang tetap mengandalkan mesin bensin, terutama saat menempuh perjalanan jarak jauh.
“Produsen mungkin mengandalkan perhitungan emisi yang optimis untuk menghindari denda besar,” ungkap T&E.
Pernyataan ini menyoroti adanya celah regulasi yang memungkinkan produsen menampilkan angka emisi lebih rendah dari kenyataan di lapangan.
Uni Eropa sebenarnya telah mencoba memperbaiki aturan dengan menurunkan faktor utilitas, yaitu persentase waktu yang diasumsikan PHEV berjalan dengan tenaga listrik. Saat ini, PHEV dengan jarak tempuh listrik 60 km diasumsikan beroperasi 80% dalam mode listrik. Namun, angka itu akan diturunkan menjadi 54% pada 2025/26 dan 34% pada 2027/28.
Meski demikian, T&E memperingatkan bahwa kesenjangan tetap akan ada. Bahkan setelah aturan baru berlaku, diperkirakan masih terdapat selisih sekitar 18% antara emisi yang diklaim produsen dan kenyataan di jalan. Hal ini berarti konsumen tetap berisiko menerima informasi yang menyesatkan.
Temuan T&E sejalan dengan riset International Council on Clean Transportation (ICCT) pada tahun 2020. ICCT menemukan bahwa emisi PHEV di Eropa rata-rata dua hingga empat kali lebih tinggi dari klaim resmi.
Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya tingkat pengisian ulang baterai oleh pengguna, sehingga mesin bensin lebih sering aktif.
Dengan konsistensi hasil riset dari berbagai lembaga, para pakar menilai PHEV bukanlah solusi jangka panjang untuk dekarbonisasi transportasi.
Di sisi lain, percepatan adopsi kendaraan listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV) dengan dukungan infrastruktur pengisian yang memadai dinilai lebih efektif dalam menekan emisi global.
Tinggalkan Komentar
Komentar