periskop.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah merampungkan regulasi khusus yang bertujuan membatasi akses pelajar terhadap konten berbahaya di media sosial. Kebijakan ini lahir dari keprihatinan atas meningkatnya paparan anak-anak terhadap informasi digital yang berisiko bagi kesehatan mental mereka.

Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Chico Hakim, menyebut insiden ledakan di SMA Negeri 72 menjadi titik balik penting. 

“Segera setelah kejadian, Gubernur (Pramono Anung) menggelar rapat koordinasi intensif bersama Dinas Pendidikan DKI Jakarta, KPAI, dan berbagai pihak terkait untuk mengkaji risiko konten berbahaya bagi pelajar,” ujarnya dikutip dari Antara, Senin (24/11).

Regulasi ini tidak hanya membatasi akses, tetapi juga memperkuat pengawasan sekolah serta memperluas program literasi digital bagi siswa, guru, dan orang tua. Tujuannya agar ekosistem pendidikan mampu menghadapi tantangan dunia digital dengan lebih bijak.

Menurut Chico, proses penyusunan regulasi sudah memasuki tahap akhir. DPRD DKI Jakarta melalui Komisi E juga memberikan dukungan penuh agar kebijakan segera diterbitkan. 

“Kesehatan mental anak-anak sekolah harus menjadi prioritas,” tegasnya.

Pemprov DKI bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memperkuat sistem verifikasi usia dan filter konten berbahaya. Konten yang menjadi fokus pengawasan meliputi kekerasan, radikalisme, dan hoaks di platform populer seperti TikTok, YouTube, dan Instagram.

“Peluncuran kebijakan itu bertahap mulai Januari 2026, dengan proyek percontohan di beberapa wilayah prioritas, termasuk Jakarta Utara,” terang Chico. 

Langkah ini diharapkan menjadi model bagi daerah lain dalam melindungi generasi muda dari dampak negatif media sosial.

Data UNICEF (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70% remaja di Asia Tenggara pernah terpapar konten berbahaya secara daring, termasuk ujaran kebencian dan informasi palsu. Paparan tersebut terbukti meningkatkan risiko depresi dan kecemasan pada remaja.

Riset dari Kementerian Kominfo juga mencatat bahwa 1 dari 3 pelajar di Indonesia mengaku pernah menerima informasi hoaks melalui media sosial. Hal ini memperkuat urgensi regulasi yang sedang disusun oleh Pemprov DKI Jakarta.