Periskop.id - Street photography adalah sebuah genre fotografi yang menangkap momen kehidupan sehari-hari di ruang publik, seperti jalanan, pasar, stasiun, atau taman, dengan cara yang spontan dan natural. Fokus utamanya bukan hanya pada pemandangan kota, melainkan pada cerita manusia dan interaksi sosial yang terajut dalam dinamika ruang publik tersebut.

Ciri khas street photography yang paling memikat adalah sifatnya yang candid, di mana objek biasanya tidak menyadari sedang difoto, sehingga ekspresi dan situasinya terasa jujur dan autentik, menunjukkan konteks sosial, budaya, dan perubahan zaman. Meskipun spontan, genre ini membutuhkan komposisi kuat, kepekaan terhadap cahaya, dan timing yang tepat.

Namun, di balik keindahan spontanitasnya, genre ini berhadapan langsung dengan dua isu krusial, yakni etika dan hukum, terutama di Indonesia.

10 Prinsip Etika Street Photography

Melansir dari Jakarta Street Photography, untuk memastikan praktik fotografi dilakukan dengan menghormati privasi dan martabat individu, para fotografer jalanan umumnya mengikuti serangkaian kode etik, di antaranya:

  • Hormati Privasi: Jangan memotret orang secara kasar atau tanpa izin mereka. Jika seseorang menunjukkan ketidaknyamanan atau meminta untuk tidak difoto, hormati permintaan tersebut.
  • Jangan Mengganggu: Biarkan momen-momen alami terjadi tanpa campur tangan yang berlebihan.
  • Jangan Memanipulasi Adegan: Jangan mengatur atau mengarahkan subjek hanya untuk menciptakan foto yang lebih dramatis.
  • Hormati Batasan Hukum: Ketahui dan patuhi aturan hukum terkait fotografi di tempat Anda berada.
  • Berhati-hati dengan Penggunaan Foto: Jika Anda berencana menggunakan foto wajah orang lain secara publik (misalnya, di media sosial atau pameran), pertimbangkan untuk mendapatkan izin, terutama jika mereka dapat dikenali dengan jelas.
  • Jaga Kehormatan dan Martabat Subjek: Hindari memotret orang dalam situasi yang memalukan atau menghina.
  • Berperilaku dengan Kesopanan dan Menghormati: Jaga sikap dan perilaku yang sopan agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan.
  • Berbagi Pengetahuan: Jika seseorang bertanya tentang foto yang telah Anda ambil, berikan penjelasan yang jujur dan terbuka.
  • Hargai Karya Orang Lain: Jangan mengklaim karya orang lain sebagai milik Anda sendiri.
  • Terus Belajar dan Berkembang: Selalu terbuka untuk umpan balik dan kritik konstruktif.

UU Hak Cipta dan Hak Privasi

Meskipun prinsip etika telah membimbing praktik street photography, fotografer di Indonesia perlu sangat berhati-hati mengenai aspek hukum, khususnya terkait hak privasi dan hak cipta.

Hak Privasi diakui dalam konstitusi Indonesia, meski dengan terminologi yang berbeda. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28G Ayat 1.

"Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi,” tulisan aturan tersebut.

Sementara itu, memotret secara diam-diam (candid) bersinggungan dengan Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Pada Pasal 12 Ayat 1 UUHC, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai persetujuan tertulis dari orang yang dipotret. Realitas ini menjadi rancu dan hampir mustahil untuk diterapkan dalam street photography, di mana spontanitas adalah kunci, dan mendapatkan persetujuan tertulis dari subjek foto adalah hal yang sulit dilakukan. Paling realistis, seorang fotografer hanya bisa mendapatkan izin lisan.

Kerumitan ini berlanjut pada Pasal 12 Ayat 2, di mana penggunaan hasil foto secara komersial, yang memuat potret dua orang atau lebih, wajib meminta persetujuan dari orang yang ada dalam potret.

Jika seorang fotografer jalanan melanggar ketentuan penggunaan potret untuk kepentingan komersial tanpa izin, konsekuensinya diatur dalam Pasal 115 UUHC, yakni sanksi dengan denda paling banyak Rp500 juta.

Ketentuan denda maksimum yang fantastis ini menjadi pengingat serius bagi para fotografer jalanan di Indonesia. Meskipun mengambil foto candid di ruang publik mungkin dibenarkan secara etika fotografi (selama tidak merendahkan martabat subjek), penggunaan foto tersebut untuk kepentingan komersial, seperti iklan atau reklame, tanpa mengantongi izin, dapat berujung pada sanksi pidana dan denda yang sangat besar.