Periskop.id - Pasar kerja di Indonesia menghadapi tekanan serius. Laporan terbaru menguak bahwa Indonesia nyaris menduduki posisi puncak sebagai negara dengan tingkat pengangguran muda (TPM) tertinggi kedua di Asia. Data ini membunyikan alarm keras mengenai masalah struktural yang mengancam potensi bonus demografi Indonesia.

Menurut estimasi data yang dihimpun oleh CEIC, Haver, dan Morgan Stanley Research untuk tahun 2025, Indonesia mencatatkan Tingkat Pengangguran Muda (usia 15–24 tahun) sebesar 17,3%, tertinggi kedua di Asia-Pasifik. Angka ini hanya selisih tipis 0,3% di bawah India, yang memimpin daftar dengan 17,6%. Posisi Indonesia berada di atas Tiongkok (China) yang menempati peringkat ketiga dengan 16,5%.

Tingginya angka ini menjadi sinyal merah yang tidak dapat diabaikan, mengingat Indonesia memiliki sekitar 44 juta pemuda dalam rentang usia tersebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2025.

Adapun rincian perbandingan tingkat pengangguran muda (TPM) di Asia-Pasifik yakni sebagai berikut:

NegaraTingkat Pengangguran Muda Peringkat
India17,6%1
Indonesia17,3%2
China16,5%3
Taiwan11,0%4
Malaysia9,9%5
Hong Kong9,9%5
Australia9,5%7
Singapura7,5%8
Korea Selatan7,2%9
Jepang4,2%10

Dilema Struktural: Kualitas Pekerjaan dan Fenomena Waiting Game

Tingginya angka pengangguran muda di Indonesia didorong oleh dilema struktural yang kompleks. Melansir dari Aljazeera, Jumat (18/7), masalah utamanya adalah ketidaksesuaian antara hasil pendidikan dan kebutuhan industri, serta perilaku khas para lulusan.

Deniey Adi Purwanto, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan akar permasalahan ini.

“Kualitas pekerjaan dan besarnya sektor informal masih jadi masalah utama. lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, dan tingkat informalitas juga tinggi,” kata Deniey Adi Purwanto, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, kepada Al Jazeera.

Indonesia telah mencatat peningkatan pesat dalam tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan ketersediaan ‘pekerjaan yang layak’ (good jobs) di sektor formal. Banyak lulusan, khususnya perguruan tinggi, cenderung menghindari pekerjaan informal atau bergaji rendah. Mereka memilih strategi yang dikenal sebagai fenomena waiting game atau yang umum dikenal dengan ‘pilah-pilih kerjaan’.

“Banyak lulusan baru menghindari pekerjaan informal atau bergaji rendah, sehingga mereka memilih menunggu pekerjaan yang cocok, yang berujung pengangguran,” ungkap Purwanto.

Keputusan untuk menahan diri dari pasar kerja ini adalah respons rasional terhadap kondisi pasar kerja yang terpolarisasi. Data BPS tahun 2024 menunjukkan sekitar 56% tenaga kerja Indonesia saat ini berada di sektor informal, yang rentan dicirikan oleh produktivitas rendah, upah tidak stabil, serta minimnya perlindungan dan jaminan sosial.

Dengan demikian, pengangguran yang dialami lulusan Indonesia lebih merupakan masalah kualitas pekerjaan formal yang terbatas ketimbang masalah kuantitas pekerjaan secara keseluruhan. Jika pasar kerja hanya menawarkan pilihan antara pekerjaan formal yang langka atau pekerjaan informal yang rentan, peningkatan investasi dalam pendidikan tinggi hanya menghasilkan peningkatan populasi 'pengangguran terdidik'.

Kesenjangan dalam Program Industri-Universitas

Pakar juga menyoroti kurangnya program pelatihan kejuruan dan magang yang efektif di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia. Purwanto menyebut Malaysia memiliki skema keterkaitan industri-universitas (industry-university linkage) dan program peningkatan kemampuan kerja bagi lulusan (graduate employability programs) yang lebih terstruktur dan kuat.

Skema industri-universitas yang ideal, seperti yang dilakukan oleh Universiti Putra Malaysia (UPM), berfokus pada tiga pilar, yakni riset, konsultasi, dan pelatihan.

  1. Riset: Melakukan riset bersama untuk menghasilkan produk, atau memanfaatkan keahlian Universitas untuk riset produk industri.
  2. Konsultasi: Industri memanfaatkan keahlian Universitas untuk mengkaji program yang mereka kembangkan, dilanjutkan dengan usulan perbaikan.
  3. Pelatihan: Universitas bekerja sama dengan industri untuk menempatkan mahasiswa pada program magang/kerja praktik dan menyediakan pelatihan profesional bagi staf industri.