periskop.id - Di balik klaim turunnya angka pengangguran, jutaan pekerja informal di Indonesia justru hidup dalam kerentanan tanpa kepastian kerja, upah layak, dan perlindungan sosial.
Para ekonom menilai, kondisi inilah yang menjadi salah satu akar dari gejolak sosial yang terjadi belakangan ini, di mana tragedi yang menimpa pekerja ojek online (ojol) menjadi puncak gunung es dari krisis pekerjaan layak.
Manager Riset dan Pengetahuan dari Prakarsa Roby Rushandie mengungkapkan bahwa realitas di lapangan jauh dari data makro yang kerap dibanggakan pemerintah, di mana para pekerja informal menjadi kelompok yang paling rentan.
“Dan tragedi yang menimpa Afan Kurniawan memperlihatkan bagaimana pekerja informal selama ini yang menjadi penyangga ekonomi di perkotaan namun tanpa kepastian kerja, upah layak, maupun perlindungan sosial dan juga minim dari perhatian pemerintah,” kata Roby dalam Diskusi Publik “Indonesia di Persimpangan: Ketimpangan, Reformasi Fiskal, dan Masa Depan Ekonomi” Senin (1/9).
Menurut data yang dipaparkannya, pendapatan rata-rata pengemudi ojol telah anjlok drastis dari sekitar Rp309 ribu per hari sebelum pandemi menjadi hanya Rp175 ribu per hari pascapandemi.
Ironisnya, tingkat perlindungan sosial bagi mereka sangat minim, terbukti dari data yang menunjukkan hanya 12% dari 4,6 juta pekerja platform yang terdaftar dalam skema BPJS Kesehatan.
“Nah kalau secara data-data makro di sini memang deindustrialisasi dini ini mendorong krisis pekerjaan layak ya,” jelas Roby mengenai salah satu akar masalah strukturalnya.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan bahwa mayoritas tenaga kerja di Indonesia saat ini memang didominasi oleh pekerja di sektor informal.
“Sebagian besar yang bekerja tercatat sebagai pekerja informal yang presentasinya meningkat mendekati 60%,” ujar Faisal.
Ia menjelaskan bahwa penurunan angka pengangguran terbuka tidak diimbangi dengan kualitas pekerjaan yang baik.
Sebaliknya, jumlah pekerja paruh waktu dan setengah menganggur justru mengalami peningkatan yang jauh lebih besar.
Hal ini, menurut Faisal, berdampak langsung pada kesejahteraan para pekerja, terutama dari sisi pendapatan yang mereka bawa pulang untuk keluarga.
“Kalau kita lihat dari sisi upah, upah riil buruh juga tidak mengalami peningkatan yang berarti, bahkan cenderung melemah,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menambahkan bahwa minimnya perlindungan bagi para pekerja ini juga merupakan cerminan dari kegagalan kebijakan di tingkat undang-undang.
“Sementara di sisi lain undang-undang ketenagakerjaan ya tidak melakukan atau tidak menyediakan perlindungan terhadap tenaga kerja yang layak gitu,” pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar