periskop.id - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengungkapkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2026 untuk disahkan menjadi Undang-Undang. 

Ia menekankan bahwa pemerintah perlu bergerak cepat dan inovatif dalam memanfaatkan instrumen fiskal pada APBN tahun mendatang.

“Pemerintah perlu gesit, kreatif, dan inovatif memanfaatkan kekuatan fiskal pada RAPBN 2026,” ujar Said dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (23/9).

Said menjelaskan bahwa proses pembahasan anggaran tersebut telah melalui tahapan yang mendalam di berbagai komisi sebelum akhirnya mengerucut di Badan Anggaran. 

Dalam UU APBN 2026 yang baru disahkan, pemerintah dan DPR menyepakati sejumlah asumsi makro, di antaranya target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% dan tingkat inflasi di level 2,5%.

Selain itu, nilai tukar rupiah disepakati di angka Rp16.500 per dolar AS, dengan tingkat suku bunga SBN 10 tahun sebesar 6,9%. 

Untuk sektor energi, harga minyak mentah Indonesia (ICP) ditetapkan US$ 70 per barel, dengan target lifting minyak 610 barel per hari dan lifting gas 984.000 barel setara minyak per hari.

Dari sisi fiskal, target pendapatan negara untuk tahun 2026 ditetapkan sebesar Rp3.153,58 triliun. 

Target ini akan ditopang oleh penerimaan perpajakan sebesar Rp2.693,71 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp459,20 triliun.

Sementara itu, pagu belanja negara disepakati mencapai Rp3.842,73 triliun. 

Angka tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp3.149,73 triliun dan alokasi transfer ke daerah (TKD) senilai Rp692,99 triliun.

Dengan postur tersebut, maka defisit anggaran pada APBN 2026 ditargetkan sebesar Rp639,15 triliun atau setara dengan 2,68% dari Produk Domestik Bruto (PDB).