periskop.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan, beroperasinya pabrik Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten, menandai langkah besar dalam mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku petrokimia.

Menurut Bahlil, sekitar 70 persen hasil produksi LCI akan diserap oleh pasar domestik, sementara 30 persen sisanya diekspor ke berbagai negara. Dengan begitu, kehadiran pabrik ini diharapkan mampu menggantikan sebagian besar kebutuhan bahan baku yang selama ini diimpor.

“Selama ini kita impor bahan baku petrokimia. Dengan pabrik ini, kita tidak lagi mengimpor secara besar-besaran seperti tahun sebelumnya. 70 persen adalah substitusi impor, 30 persen kita ekspor,” ujar Bahlil, dikutip dari Antara, Kamis (6/11).

Bahlil menambahkan, nilai penjualan dari pabrik petrokimia terintegrasi ini diperkirakan mencapai sekitar 2 miliar dolar AS per tahun, dengan sekitar 1,4 hingga 1,5 miliar dolar AS berasal dari pasar dalam negeri, dan sisanya dari ekspor.

Pabrik New Ethylene Project (NEP) LCI merupakan bagian dari kompleks petrokimia terintegrasi di Cilegon yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan nilai investasi mencapai 3,98 miliar dolar AS, proyek ini menjadi salah satu investasi petrokimia terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Berdiri di atas lahan seluas 110 hektare, kompleks tersebut memiliki kapasitas naphtha cracker hingga 3 juta ton per tahun. Dari fasilitas ini, dihasilkan berbagai produk utama seperti 1 juta ton etilena, 520 ribu ton propilena, 350 ribu ton polipropilena, 140 ribu ton butadiena, serta 400 ribu ton BTX (benzena, toluena, dan xilena) setiap tahunnya.

Pabrik LCI mulai beroperasi komersial pada Oktober 2025 dan telah terintegrasi dengan fasilitas polietilena (PE) berkapasitas 450 ribu ton per tahun yang lebih dulu beroperasi. Fasilitas tersebut juga dirancang fleksibel karena mampu menggunakan hingga 50 persen LPG selain naphtha sebagai bahan baku utama, sehingga meningkatkan efisiensi biaya dan operasional.

“Hari ini membuktikan bahwa hilirisasi Indonesia tidak hanya kita bangun dari mineral dan batu bara, tapi juga mulai bergerak ke sektor oil and gas,” tegas Bahlil.

Dari sisi tenaga kerja, Bahlil mengungkapkan bahwa selama masa pembangunan hingga menjelang operasional, proyek ini telah menyerap sekitar 17 ribu tenaga kerja langsung. Jika termasuk pekerja tidak langsung, totalnya mencapai sekitar 40 ribu orang. Ia juga menyebut, proyek ini sempat terhenti selama 5–6 tahun sebelum akhirnya bisa diselesaikan dan diresmikan.

Lebih lanjut, Bahlil mengingatkan bahwa proyek petrokimia skala besar terakhir di Indonesia dibangun sekitar tiga dekade lalu, yakni proyek Chandra Asri di era pemerintahan Presiden Soeharto. Sejak saat itu, Indonesia belum kembali membangun proyek sejenis dengan skala besar.

“Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini, kita akhirnya kembali bisa mengeksekusi proyek besar seperti LCI. Ini menjadi tonggak penting kebangkitan industri hilir nasional,” tuturnya.

Ia menegaskan, kehadiran LCI bukan sekadar menghadirkan nilai ekonomi tinggi, tetapi juga mewujudkan visi hilirisasi nasional yang menekankan pengolahan sumber daya alam di dalam negeri.

“Bahwa sumber daya alam dan energi Indonesia tidak lagi diekspor dalam bentuk mentah, tapi diolah di dalam negeri agar memberi nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan memperkuat daya saing industri nasional di tingkat global,” imbuh Bahlil.