Indonesia, sebagai produsen listrik batu bara terbesar ketujuh di dunia dan kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, berada di garis depan transisi energi global. Namun, rencana ambisius negara untuk memensiunkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebesar 6,7 gigawatt (GW) pada tahun 2030 demi memerangi perubahan iklim kini menghadapi tantangan serius.

Janji Dana Iklim Raksasa yang Belum Cair

Pada tahun 2022, sebuah koalisi yang terdiri dari 10 negara donor atau yang disebut sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP), pernah menjanjikan mobilisasi dana hingga US$20 miliar dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun untuk Indonesia. Kesepakatan ini sempat digambarkan sebagai transaksi pembiayaan iklim tunggal terbesar. Dana ini sangat krusial, karena seharusnya mencakup biaya pensiun dini PLTU yang setara dengan 13,5% dari total kapasitas pembangkit batu bara Indonesia.

Namun, dilansir dari Reuters, Selasa (18/11), pencairan dana, khususnya untuk pensiun dini PLTU, dilaporkan mandek.

Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat JETP Indonesia, mengungkapkan kekhawatiran tersebut di sela-sela Konferensi Iklim COP30 di Brasil.

"Jika memang tidak ada yang benar-benar bersedia turun tangan mendanai penghentian PLTU, maka kami harus memikirkan kembali apakah penghentian itu benar-benar pilihan terbaik,” ujarnya.

Dana Tersedia, Namun Bukan untuk Pensiun PLTU

Laporan kemajuan JETP menunjukkan bahwa meskipun program ini telah menyetujui pinjaman dan ekuitas senilai $2,85 miliar AS, serta hibah sebesar US$186,9 juta untuk berbagai proyek seperti energi terbarukan dan transportasi listrik, tidak ada dana yang disetujui secara spesifik untuk pensiun dini PLTU.

Situasi ini menyoroti kekhawatiran yang lebih luas di negara-negara berkembang mengenai proses pendanaan iklim internasional yang berjalan lambat, di mana komitmen dan pencairan dana menjadi dua hal yang berbeda.

Amerika Serikat, yang merupakan salah satu dari 10 negara donor (bersama Uni Eropa, Jepang, dan lainnya), dilaporkan telah menarik diri dari JETP Indonesia.

Lalu, Meski Jerman, yang kini mengoordinasikan program bersama Jepang, menyatakan bahwa donor telah berkomitmen sebesar US$19,53 miliar dari janji awal US$20 miliar, mereka mengakui bahwa komitmen tidak sama dengan pencairan.

Tantangan Penggantian Kapasitas Listrik

Butarbutar juga menyinggung tantangan teknis dalam mengganti kapasitas listrik yang dipensiunkan, terutama di wilayah padat penduduk seperti Jawa.

"Jika menggunakan tenaga surya, di mana kita akan menempatkan pembangkitnya di Jawa? ... Dan jika ingin menggantinya dengan panas bumi, siapa yang bersedia menanggung biaya awalnya?” ujarnya.

Kendati demikian, Butarbutar menjelaskan bahwa kesulitan memensiunkan PLTU tidak terkait dengan keluarnya AS. Ia menambahkan bahwa ada dana yang tersedia di luar skema JETP, sekitar US$2,56 miliar yang dikelola Asian Development Bank (ADB) melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM). Sekitar setengah dari dana ETM ini dibutuhkan untuk memensiunkan PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 megawatt di timur Jakarta.