periskop.id - Komisi VI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan Direktur Utama PT PLN (Persero) di Kompleks Parlemen, hari ini, Rabu (20/11). 

Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Nurdin Halid dengan agenda utama membahas kesesuaian supply and demand listrik bagi operasional dan rencana ekspansi Inalum di Sumatera Utara. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari RDP sebelumnya yang digelar pada 29 September 2025.

Nurdin menegaskan bahwa RDP kali ini diperlukan untuk mendengarkan penjelasan komprehensif dari kedua BUMN mengenai langkah konkret penyelesaian tiga isu mendasar yang akan menentukan keberlanjutan hilirisasi aluminium di Indonesia.

Isu pertama adalah kebutuhan volume daya listrik. Menurut Nurdin, industri peleburan aluminium merupakan sektor yang sangat padat energi. 

Rencana ekspansi membutuhkan tambahan daya hingga ratusan megawatt di luar kapasitas PLTA Inalum yang sudah beroperasi. Karena itu, PLN perlu memberikan jaminan pasokan listrik tambahan secara stabil dan berkelanjutan.

Kedua, menyangkut daya saing harga listrik. Biaya listrik disebut dapat mencapai hingga 40 persen dari total biaya produksi aluminium. 

Tanpa tarif yang kompetitif dan skema penyediaan listrik yang adil serta berjangka panjang, produk aluminium Indonesia akan sulit bersaing di pasar global. Nurdin menilai mekanisme tarif harus mampu menjaga kelayakan investasi tanpa membebani keuangan negara.

selanjutnya, tuntutan global terhadap penggunaan energi hijau. Dengan adanya kebijakan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Uni Eropa, produk dengan emisi karbon tinggi akan dikenakan biaya tambahan.

Keunggulan Inalum yang menggunakan energi PLTA dianggap sebagai nilai strategis, sehingga tambahan pasokan listrik untuk ekspansi harus diarahkan pada sumber energi baru dan terbarukan.

Nurdin juga menyoroti stagnasi kapasitas peleburan aluminium Inalum. Di sisi lain, permintaan domestik justru meningkat tajam di sektor konstruksi, otomotif, hingga kendaraan listrik. Kondisi ini membuat Indonesia masih mengimpor aluminium bernilai tambah tinggi. 

“Tanpa ekspansi kapasitas baru, Inalum berisiko kehilangan momentum untuk mendukung kemandirian industri nasional,” tegasnya.

Pemerintah dan Inalum menargetkan peningkatan kapasitas produksi nasional menjadi 900 ribu ton pada 2029. Saat ini, kapasitas terpasang baru mencapai 235 ribu KTPA (Kilo Ton Per Annum) , masih jauh dari target Indonesia sebagai negara maju pada 2045. 

Nurdin juga menyoroti belum optimalnya sinergi Inalum dengan ANTAM dalam pasokan bauksit dan alumina, serta dengan Indonesia Battery Corporation (IBC) dalam ekosistem baterai. Akibatnya, nilai tambah aluminium nasional belum maksimal.

“Penambahan pasokan listrik untuk meningkatkan produksi Inalum merupakan kebutuhan strategis yang harus segera diselesaikan,” ujarnya.

Di sisi lain, Direktur Utama Inalum, Melati Sarnita, menyampaikan bahwa perusahaannya terus berupaya meningkatkan kapasitas produksi dan memperkuat rantai pasok. 

“Ke depan kami optimistis dapat mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat rantai pasok aluminium secara nasional,” kata Melati.

Dalam kesempatan tersebut, Komisi VI DPR RI menegaskan komitmennya untuk mengawal agenda hilirisasi mineral, khususnya hilirisasi bauksit sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Rapat diharapkan dapat mempercepat sinergi antara pemerintah, PLN, dan Inalum guna mendukung pengembangan industri strategis nasional.