Periskop.id - Di tengah kemarahan publik atas praktik korupsi yang kian vulgar, Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mendesak untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Hanya saja, ia mengingatkan, hal tersebut tetapi perlu dikawal agar tidak berubah menjadi alat kekuasaan yang sewenang-wenang.
Hardjuno menilai, esensi utama dari dorongan publik bukan sekadar perampasan aset, melainkan pemiskinan total terhadap para pelaku korupsi yang selama ini hidup mewah tanpa pertanggungjawaban. “Hukum kita sudah punya semua alat untuk memiskinkan koruptor. Tapi semua itu mandul karena tidak digunakan secara maksimal. Jadi masalah kita bukan kekurangan undang-undang, tapi kekurangan keberanian dan moralitas,” ujar Hardjuno dalam keterangannya, Rabu (3/9).
Dasar Hukum
Menurut Hardjuno, adalah suatu kesalahan bila mengira Indonesia belum memiliki dasar hukum untuk memiskinkan koruptor. Justru sebaliknya, undang-undang yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta hasil tindak pidana sudah tersedia sejak lama. Masalah utamanya bukan pada kekosongan hukum, tetapi pada kebiasaan hukum yang tidak ditegakkan secara konsisten dan menyeluruh.
"Nah, sebenarnya pemiskinan koruptor dengan UU yang ada ini ditegakkan dulu secepat-cepatnya. Bersihkan lembaga peradilan, sambil RUU Perampasan Aset disahkan dan mulai dijalankan," kata Hardjuno.
Ia mencontohkan, Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan negara untuk menyita dan melelang harta kekayaan terpidana guna mengganti kerugian negara. Jika kekayaan hasil korupsi tidak ditemukan, pelaku tetap diwajibkan membayar uang pengganti, dan hartanya yang lain dapat disita.
Namun dalam praktiknya, banyak vonis pidana hanya menyasar tubuh pelaku, bukan kekayaannya. "Bahkan vonisnya sendiri sering menguntungkan koruptor," serunya.
Hal serupa berlaku dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Negara, ujarnya, memiliki kewenangan untuk menyasar kekayaan tak wajar yang tak dapat dijelaskan asal-usulnya. Bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga memungkinkan penyitaan barang yang berkaitan dengan kejahatan.
Belum lagi putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan, penyitaan harta hasil tindak pidana tidak melanggar hak asasi manusia selama melalui proses hukum yang adil.
“Kalau kita serius menjalankan semua itu, pemiskinan koruptor sudah bisa terjadi bahkan tanpa RUU baru. Tapi kenyataannya, semua alat itu dibiarkan tumpul. Kita lebih suka memberi kesan bahwa hukum bekerja, padahal sesungguhnya tidak. Maka jalankan dulu itu sambil RUU Perampasan Aset dibahas,” ujar Hardjuno.
Senjata Strategis
Meski begitu, Hardjuno tetap mendorong inisiatif RUU Perampasan Aset. Menurutnya, RUU tersebut bisa menjadi senjata strategis untuk mengejar hasil kejahatan besar, terutama yang selama ini tidak bisa disentuh oleh hukum biasa.
Ia menegaskan, RUU ini harus diberi batasan ketat, misalnya hanya berlaku untuk kejahatan luar biasa seperti mega-korupsi, korupsi besar bantuan sosial, pencucian uang lintas negara, atau narkotika, dengan nilai kerugian minimal Rp1 triliun. Hal ini penting agar UU tidak digunakan untuk menyasar pelanggaran ringan atau menjadi alat balas dendam politik.
“RUU ini penting, tapi harus dikhususkan. Kalau tidak, kita membuka pintu penyalahgunaan yang lebih besar. Sasarannya jelas: koruptor kelas kakap, bukan rakyat kecil,” ujar Hardjuno yang disertasi doktoralnya di Universitas Airlangga mengangkat topik mengenai RUU Perampasan Aset di Indonesia ini.
Sebagai pelengkapnya, ia mendorong agar pemerintah dan DPR segera membangun mekanisme pemiskinan koruptor secara sistematis. Caranya? Dengan mengadopsi pendekatan illicit enrichment: siapa pun pejabat atau elite yang kekayaannya tidak sebanding dengan penghasilan sahnya, wajib dimintai penjelasan dan bisa disita jika tidak dapat membuktikan legalitas harta tersebut.
“Kalau gaji Rp1 miliar tapi hartanya Rp50 miliar tanpa bukti sah, rampas. Bukan karena kita dendam, tapi karena itu keadilan. Rakyat ingin para koruptor kehilangan semua yang mereka curi, sampai ke saldo terakhir,” tegas Hardjuno.
Realitas Pahit
Menurut Hardjuno, akar krisis kepercayaan publik terhadap negara hari ini justru bukan karena rakyat tak paham hukum—tapi karena rakyat merasa hukum tidak pernah menyentuh yang kuat.
“Koruptor besar ditangkap, tapi hartanya masih ada. Keluarganya tetap kaya. Setelah keluar penjara, bisa nyaleg lagi. Rakyat tidak bodoh. Mereka tahu siapa yang selalu lolos,” ucapnya.
Inilah sebabnya, kata Hardjuno, pendekatan pemiskinan penting bukan hanya untuk efek jera, tapi juga sebagai simbol bahwa negara masih berdiri di pihak rakyat. Ia menyebut, meski menjunjung proses hukum, ia ragu terhadap efektivitas lembaga pengawas yang ada.
“Jangan kita pura-pura semua berjalan baik. KPK dilemahkan, pengadilan dipertanyakan, lembaga pengawas juga tak sepenuhnya kredibel. Maka UU baru harus punya desain perlindungan publik yang kuat, bukan sekadar pengawasan prosedural,” ucapnya.
Baginya, yang paling penting adalah: niat dan keberanian negara untuk benar-benar memutus rantai kejahatan korupsi lewat pemiskinan sistemik. Negara harus hadir dengan keadilan yang bisa dilihat dan dirasakan rakyat—bukan hanya di atas kertas.
“Selama ini koruptor di Indonesia tidak takut. Karena yang hilang hanya kebebasannya sebentar, bukan hartanya. Sekarang saatnya kita balik: bikin koruptor takut kehilangan semuanya. Bikin mereka malu. Bikin mereka bangkrut. Di situ kepercayaan rakyat bisa mulai tumbuh kembali,” pungkasnya.
Proses Pembahasan RUU
Senada, Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan, pembahasan segera untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset itu sudah sangat mendesak.
"Indonesia perlu memiliki instrumen hukum yang lebih kuat untuk melawan praktik korupsi, pencucian uang, serta berbagai kejahatan ekonomi yang merugikan keuangan negara. Salah satu instrumen penting yang hingga kini masih tertunda adalah RUU Perampasan Aset," ujar Presiden KMMIH UGM Kampus Jakarta Razikin dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/9).
Oleh karena itu, dirinya mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas RUU itu. Menurutnya, RUU Perampasan Aset bukan hanya untuk menghukum pelaku, melainkan lebih utama guna mengembalikan aset hasil kejahatan kepada negara dan masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Sturman Panjaitan mengatakan ,DPR akan memaksimalkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset guna merespons aspirasi dari masyarakat yang ingin pembahasannya dipercepat.
Menurut dia, pembahasan RUU Perampasan Aset sudah digelar pada Senin (1/9), dan RUU tersebut kini masih berada dalam tahap penyusunan. "Kami bekerja semaksimal mungkin. Bahkan kemarin kita kan juga bahas. Hari Senin kemarin kita masuk juga," kata Sturman di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan, Baleg DPR RI akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan RUU tersebut. Jangan sampai undang-undang yang dibentuk sangat jauh dari pemahaman masyarakat. "Karena masyarakat selalu diminta pendapatnya, diminta keinginannya apa. Kemudian kita jawab pertanyaannya," tandasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar