periskop.id - Penasihat hukum Laras Faizati, Uli Pangaribuan, menegaskan bahwa hukum tidak semestinya digunakan sebagai alat untuk membungkam empati dan suara warga negara yang memperjuangkan keadilan sosial.
“Kami meyakini bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat untuk membungkam suara warga negara, terutama perempuan muda yang menggunakan ruang digital untuk menyuarakan empati dan keadilan sosial,” ujar Uli Pangaribuan dari LBH Apik, usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (12/11).
Pernyataan itu merupakan inti dari eksepsi (nota keberatan) yang dibacakan tim kuasa hukum hari itu.
Eksepsi diajukan atas dakwaan pasal berlapis yang menjerat Laras Faizati Khairunnisa, mantan pegawai ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA).
Suasana di ruang persidangan berubah haru setelah hakim menutup jalannya sidang.
Laras terlihat perlahan bangkit dari kursi terdakwa dan melangkah menuju tim kuasa hukumnya.
Uli Pangaribuan tampak menenangkan Laras dengan mengusap punggungnya beberapa kali sebelum memeluknya erat.
Air mata Laras tak terbendung. Ia kemudian menghampiri orang tua, kerabat, dan teman-teman yang hadir untuk memberikan dukungan.
Wajahnya tampak basah oleh air mata, namun Laras berusaha tersenyum di antara pelukan satu per satu pendukungnya.
“Aku pingin pulang...,” dengan suara lirih, Laras berucap.
Kalimat sederhana itu memecah keheningan dan menggambarkan kerinduan mendalamnya untuk kembali ke rumah dan keluarganya.
Dukungan untuk Laras juga mengalir dalam bentuk surat. Seseorang menyerahkan amplop besar berisi pesan penguat dan doa, yang kembali membuat Laras menangis saat membacanya.
“Terima kasih sudah datang, sudah percaya, dan sudah mendoakan aku,” ujarnya pelan.
“Doain ya, aku bisa pulang ke keluarga aku. Semoga aku bisa dapat keadilan sebaik-baiknya,” lanjut Laras.
Ruang sidang sore itu menjadi saksi bisu perjuangan Laras, yang didakwa atas kritikannya, untuk mendapatkan keadilan.
Tinggalkan Komentar
Komentar