periskop.id - Ketegangan antara China dan Filipina kembali memanas di Laut China Selatan, tepatnya di sekitar Ren’ai Jiao atau Second Thomas Shoal. Pemerintah China menuduh Filipina melakukan tindakan provokatif setelah kapal perang Manila yang dikandaskan melepaskan dua kapal kecil yang mendekati kapal-kapal Penjaga Pantai China. 

“Kapal penjaga pantai China telah mengambil tindakan pengendalian terhadap kapal-kapal Filipina sesuai dengan hukum dan peraturan, dan operasi tersebut sah dan legal,” ujar Gan Yu, juru bicara Penjaga Pantai China dikutip dari Antara, Senin (25/8).

Ia menegaskan bahwa China akan terus melakukan patroli untuk menjaga kedaulatan nasional serta hak dan kepentingan maritimnya. Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya insiden di wilayah yang diklaim oleh kedua negara, termasuk Scarborough Shoal yang dikenal di Filipina sebagai Bajo de Masinloc dan di China sebagai Huangyan Island.

Pekan sebelumnya, Filipina melaporkan insiden tabrakan antara dua kapal China saat melakukan pengejaran terhadap BRP Suluan, kapal Penjaga Pantai Filipina. 

Menurut laporan Manila, salah satu kapal China melakukan manuver berisiko yang menyebabkan benturan dengan kapal Angkatan Laut China. Insiden ini terjadi saat Filipina mengerahkan BRP Teresa Magbanua dan BRP Suluan untuk melindungi kapal-kapal nelayan mereka di wilayah sengketa.

Ren’ai Jiao merupakan salah satu titik sengketa terpanas di Laut China Selatan. Terumbu karang ini terletak di Kepulauan Spratly, wilayah yang juga diklaim oleh Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. 

Sejak tahun 1999, Filipina telah mengandaskan kapal perang BRP Sierra Madre di terumbu tersebut sebagai simbol klaim kedaulatan, yang hingga kini dijaga oleh pasukan militer Filipina.

Ketegangan di Laut China Selatan bukan hanya melibatkan China dan Filipina. Dalam beberapa tahun terakhir, kapal-kapal China juga terlibat dalam insiden dengan Vietnam di sekitar Paracel Islands dan dengan Malaysia di wilayah eksplorasi minyak dan gas. 

Amerika Serikat pun kerap mengirim kapal perang untuk melakukan “freedom of navigation operations” sebagai bentuk penolakan terhadap klaim sepihak China yang mencakup hampir seluruh wilayah laut tersebut.

Meski berbagai negara telah mengajukan gugatan dan protes diplomatik, China tetap bersikukuh pada klaim historisnya yang didasarkan pada “nine-dash line”, sebuah garis imajiner yang ditolak oleh putusan arbitrase internasional tahun 2016. 

Putusan tersebut memenangkan Filipina dan menyatakan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum internasional. Namun, China menolak hasil arbitrase dan terus memperkuat kehadiran militernya di wilayah tersebut.

Dengan meningkatnya insiden dan retorika keras dari kedua belah pihak, Laut China Selatan kembali menjadi titik rawan konflik regional.