periskop.id - Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Program Makan Bergizi (MBG).
Peneliti CIPS Jimmy Daniel Berlianto menyatakan langkah tersebut krusial untuk membenahi tata kelola dan desain program yang lebih berbasis bukti.
“Penting bagi pemerintah untuk menghentikan sementara dan mengevaluasi jalannya Program MBG. Setelah lebih dari 6 bulan berjalan tanpa tata kelola yang jelas, ambisi untuk terus meningkatkan penerima secara drastis sampai 82,9 juta orang berisiko memperparah skala kasus yang sudah terjadi, seperti keracunan dan konsumsi pangan ultraolahan,” ujar Jimmy dalam keterangan resmi, Jakarta, Senin (25/8).
CIPS mengidentifikasi sejumlah permasalahan fundamental dalam program ini, salah satunya adalah ketiadaan payung hukum yang spesifik seperti Undang-Undang atau Peraturan Presiden.
Ketiadaan kerangka regulasi ini menyebabkan pembagian peran antarlembaga pemerintah menjadi tidak jelas.
Selain itu, pemerintah dinilai mempercepat target penerima manfaat dari semula 19,47 juta orang pada akhir 2025 menjadi 82,9 juta orang di periode yang sama tanpa didahului evaluasi mendalam.
Sorotan utama juga tertuju pada rencana pembiayaan program.
Dalam pembahasan RAPBN 2026, pemerintah mengumumkan akan ada tambahan alokasi untuk MBG yang bersumber dari anggaran pendidikan sebesar Rp757,8 triliun.
Kebijakan ini berpotensi mengurangi porsi anggaran untuk sektor pendidikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut CIPS, penambahan anggaran besar tanpa kesiapan tata kelola yang matang justru dapat meningkatkan risiko.
Masalah yang berpotensi meluas antara lain kasus keracunan makanan, keterlambatan distribusi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), serta peningkatan konsumsi pangan ultraolahan yang tidak sejalan dengan tujuan perbaikan gizi.
Data per awal Agustus menunjukkan penyerapan anggaran untuk MBG telah mencapai sekitar Rp8 triliun, atau rata-rata Rp1,14 triliun per bulan sejak program dimulai pada 6 Januari 2025.
Jimmy menegaskan bahwa efektivitas penggunaan anggaran tersebut belum terbukti.
“Anggaran pendidikan sebaiknya dipakai seefektif mungkin. Jika program MBG dijalankan tanpa tata kelola yang kuat, maka bukan hanya tujuan baiknya yang tidak tercapai, tapi juga turut mengorbankan perbaikan dan pengembangan sektor pendidikan pada aspek-aspek lainnya,” ungkapnya.
Sebagai solusi, CIPS merekomendasikan tiga langkah perbaikan. Pertama, pemerintah perlu menyusun kerangka regulasi yang jelas untuk mengatur pelaksanaan MBG.
Kedua, melibatkan pemangku kepentingan daerah sebagai aktor inti program.
Ketiga, menjadikan sekolah sebagai pemimpin dalam perancangan dan pelaksanaan program di tingkat lokal, bukan sekadar pelaksana distribusi.
Tinggalkan Komentar
Komentar