periskop.id - Pengurus Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberhentikan Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU. Keputusan strategis ini diambil setelah tenggat waktu pengunduran diri yang diberikan sebelumnya telah habis.
"Maka KH. Yahya Cholil Staquf tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum PBNU terhitung mulai tanggal 26 November 2025 pukul 00.45 WIB," demikian bunyi petikan Surat Edaran yang dikutip pada Rabu (26/11).
Pemberhentian tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 4785/PB.02/A/II/10/01/99/11/2025. Dokumen penting ini ditandatangani langsung oleh Wakil Rais Aam Afifuddin Muhajir dan Katib Ahmad Tajul Mafakhir pada 25 November 2025.
Dalam surat edaran dijelaskan kronologi pemberhentian tersebut. Yahya Staquf sebelumnya telah diberi ultimatum atau tenggat waktu selama tiga hari sejak menerima keputusan Rapat Harian Syuriah PBNU pada 20 November 2025.
Rapat harian tersebut menghasilkan desakan agar Yahya mundur secara sukarela dari posisi ketua umum. Jika tidak, ia akan diberhentikan dalam jangka waktu tiga hari pascasurat diterima.
Wakil Rais Aam Afifuddin Muhajir tercatat telah menyerahkan surat hasil keputusan Rapat Harian Syuriah PBNU tersebut secara langsung kepada Yahya pada 23 November 2025.
Dengan terbitnya surat pemberhentian ini, status dan wewenang Gus Yahya di tubuh organisasi Islam terbesar di Indonesia itu resmi dicabut.
Pengurus Syuriah menegaskan Yahya Staquf sudah tidak lagi memiliki legalitas untuk menggunakan segala fasilitas maupun atribut yang mengatasnamakan Ketua Umum PBNU.
"Maka KH. Yahya Cholil Staquf tidak lagi memiliki wewenang dan hak untuk menggunakan atribut, fasilitas, dan atau hal yang melekat kepada jabatan Ketua Umum PBNU maupun bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Nahdlatul Ulama terhitung mulai 26 November 2025," tegas surat edaran tersebut.
Terkait kekosongan kursi ketua umum pascapemberhentian ini, Pengurus Syuriah telah mengambil langkah antisipasi.
Kewenangan kepemimpinan PBNU kini diserahkan sepenuhnya kepada Rais Aam sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam struktur organisasi.
"Untuk selanjutnya, selama kekosongan jabatan Ketua Umum PBNU, sebagaimana dimaksud, maka kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sepenuhnya berada di tangan Rais Aam selaku Pemimpin Tertinggi Nahdlatul Ulama," lanjut bunyi putusan itu.
Kendati demikian, keputusan ini tidak menutup ruang pembelaan. Pengurus Syuriah PBNU tetap memberikan kesempatan kepada Yahya untuk menempuh jalur keberatan.
Yahya diperkenankan melakukan upaya permohonan melalui mekanisme internal, yakni Majelis Tahkim Nahdlatul Ulama, apabila merasa keberatan terhadap putusan pemberhentian tersebut.
"Dalam hal KH Yahya Cholil Staquf memiliki keberatan terhadap keputusan tersebut, maka dapat menggunakan hak untuk mengajukan permohonan kepada Majelis Tahkim Nahdlatul Ulama," tutup surat edaran tersebut.
Tinggalkan Komentar
Komentar