periskop.id - Nilai tukar rupiah ditutup menguat tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (6/11).
Berdasarkan data pasar spot, rupiah menguat 16 poin ke posisi Rp16.701 per dolar AS dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp16.717. Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan penguatan rupiah hari ini lebih bersifat teknikal di tengah tekanan eksternal yang masih kuat.
“Rupiah sempat menguat 15 hingga 16 poin sore ini, namun potensi fluktuasi masih cukup tinggi,” ulas Ibrahim, Kamis (5/11).
Ia memperkirakan, rupiah akan bergerak fluktuatif namun cenderung melemah di rentang Rp16.700 hingga Rp16.750 per dolar AS pada Jumat (6/11). Menurutnya, arah rupiah masih sangat dipengaruhi oleh dinamika kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) dan ketidakpastian fiskal di Amerika Serikat.
Dari sisi eksternal, Ibrahim menyoroti meningkatnya spekulasi bahwa The Fed belum tentu memangkas suku bunga pada Desember mendatang. Hal ini menyusul pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell yang menegaskan bahwa penurunan suku bunga belum menjadi sesuatu yang pasti.
“Data ekonomi swasta AS yang solid, terutama dari sektor tenaga kerja dan aktivitas bisnis, membuat dolar kembali menguat,” kata Ibrahim.
Data ketenagakerjaan non-pertanian ADP untuk Oktober mencatat hasil di atas perkiraan, menunjukkan pasar tenaga kerja AS masih tangguh. Selain itu, data indeks manajer pembelian (PMI) juga menunjukkan aktivitas bisnis yang tetap kuat. Kondisi ini membuat pelaku pasar semakin menurunkan ekspektasi pemangkasan suku bunga Desember dari 70,3% menjadi hanya 59,3%, mengacu pada CME Fedwatch.
Situasi politik di AS pun turut menambah tekanan bagi mata uang negara berkembang. Pemerintah AS masih dalam kondisi shutdown hingga hari ke-36, menyebabkan tertundanya rilis beberapa data ekonomi resmi.
“Penutupan pemerintahan AS memperpanjang ketidakpastian pasar. Bahkan, ada rencana pemangkasan jadwal penerbangan hingga 10% di 40 bandara besar akibat kekurangan pengawas lalu lintas udara,” papar Ibrahim.
Sementara dari dalam negeri, pasar juga menyoroti rencana pemerintah membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Redenominasi Rupiah yang masuk dalam kerangka Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029. Pemerintah menargetkan pembahasan RUU tersebut rampung pada 2026.
Menurut Ibrahim, langkah pemerintah tersebut secara jangka panjang bisa memperkuat citra dan kredibilitas rupiah.
“Redenominasi berpotensi menciptakan efisiensi ekonomi dan memperkuat stabilitas nilai tukar. Namun, implementasinya perlu waktu dan kesiapan ekonomi yang matang,” jelasnya.
Ia menambahkan, isu redenominasi sejatinya bukan hal baru. Pemerintah sudah sempat mencantumkan agenda serupa dalam PMK No.77/2020 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2020–2024.
“Intinya, penyederhanaan nilai rupiah dari misalnya Rp1.000 menjadi Rp1 dimaksudkan untuk memperkuat persepsi dan efisiensi, bukan mengubah nilai tukar itu sendiri,” kata Ibrahim menegaskan.
Dengan kombinasi faktor eksternal yang masih kuat dan sentimen kebijakan domestik, Ibrahim memperkirakan rupiah masih akan bergerak hati-hati dalam jangka pendek. Selama ketidakpastian global belum mereda, Ibrahim menekankan ruang penguatan rupiah masih terbatas.
Tinggalkan Komentar
Komentar