periskop.id - Mata uang rupiah ditutup menguat pada perdagangan Selasa, 25 November 2025, meski sempat bergerak lebih tinggi pada sesi sebelumnya. Rupiah ditutup di level Rp16.656 per dolar AS, menguat 43 poin dari penutupan sebelumnya di Rp16.699.

Secara keseluruhan, penguatan rupiah hari ini didukung optimisme pelaku pasar terhadap penurunan suku bunga The Fed. Sementara faktor domestik dan geopolitik menjadi penentu pergerakan mata uang dalam beberapa hari ke depan.

“Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang  Rp16. 650-Rp16.700," kata Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas, Ibrahim Assuaibi, Selasa (25/11).

Kondisi eksternal menjadi salah satu faktor penguatan rupiah. Pelaku pasar tampak optimistis bahwa Federal Reserve (The Fed) akan menurunkan suku bunga pada pertemuan Desember mendatang menyusul data ekonomi AS yang terus mengalir. 

"Komentar dovish dari pejabat The Fed meningkatkan kemungkinan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Desember," ujar Ibrahim.

Komentar terbaru datang dari Gubernur Fed, Christopher Waller, yang mendukung pemangkasan suku bunga, sejalan dengan pernyataan Presiden Fed New York, John Williams, Jumat lalu. Pasar tenaga kerja yang melemah menjadi salah satu alasan kemungkinan penurunan suku bunga. Saat ini, peluang pemangkasan suku bunga diperkirakan hampir 80%, naik dari 30% sebelumnya, menurut perangkat CME FedWatch.

Selain itu, pelaku pasar menunggu data ekonomi terbaru AS untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut tentang arah kebijakan moneter. Indeks Harga Produsen (IHP) diproyeksikan naik 0,3% MoM pada September, sementara Penjualan Ritel diperkirakan meningkat 0,4% MoM.

Dari sisi geopolitik, pasar juga mencermati kerja sama AS dan Ukraina dalam menyusun rencana komprehensif untuk mengakhiri perang dengan Rusia.

"Meskipun detailnya sedikit, kerja sama ini bisa memengaruhi sentimen pasar global, termasuk rupiah," tambah Ibrahim.

Di sisi internal, kondisi fiskal Indonesia menjadi sorotan. Presiden Prabowo Subianto menargetkan APBN 2027 atau 2028 tidak lagi defisit, namun untuk 2026 defisit masih ditetapkan sebesar 2,68% dari PDB. Kenaikan ini disebabkan program prioritas pemerintah seperti makan bergizi gratis dan koperasi desa merah putih, sementara penerimaan pajak belum pulih sepenuhnya.

"Defisit APBN yang lebih tinggi dari target awal memang memberi tekanan pada rupiah, tapi sejauh ini pasar tetap menilai pergerakan rupiah masih stabil," kata Ibrahim.