periskop.id - Mata uang rupiah menguat pada perdagangan Jumat (21/11/2025) di tengah penguatan indeks dolar AS. Rupiah ditutup menguat 20 poin di level Rp16.716 dari penutupan sebelumnya di Rp16.736, setelah sebelumnya sempat menguat 30 poin. Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas, Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan fluktuasi rupiah akan berlanjut pada awal pekan depan.
"Untuk perdagangan Senin depan, mata uang rupiah diperkirakan fluktuatif, namun ditutup melemah di rentang Rp16.710-Rp16.740," ujar Ibrahim, Jumat (21/11).
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam rencana perdamaian Ukraina yang mencakup 28 poin. Pernyataan ini muncul di tengah sorotan global terhadap konflik yang telah berlangsung lama di kawasan Donbas.
Sebuah laporan Reuters mengungkapkan bahwa Kyiv kemungkinan akan diminta untuk menyerahkan seluruh wilayah Donbas dan secara signifikan mengurangi kekuatan militernya. Persyaratan ini telah lama dianggap oleh pendukung Ukraina sebagai bentuk penyerahan diri.
Sementara itu, sanksi Amerika Serikat terhadap perusahaan minyak besar Rusia, Rosneft dan Lukoil, resmi berlaku mulai Jumat malam setelah periode pengurangan produksi. Dampaknya langsung terasa di pasar global, dengan pembeli utama di India dan Tiongkok menarik diri dari pembelian kargo.
Di sisi ekonomi Amerika Serikat, laporan ketenagakerjaan yang tertunda untuk bulan September telah dirilis pada Kamis. Data tersebut menunjukkan penambahan tak terduga sebesar 119.000 lapangan kerja. Meski demikian, tingkat pengangguran naik menjadi 4,4% dan angka bulan-bulan sebelumnya direvisi turun.
Komentar hawkish juga datang dari pejabat Federal Reserve. Beth Hammack menyatakan, pemotongan suku bunga berisiko memperpanjang inflasi tinggi. Sementara kondisi keuangan saat ini dinilai cukup akomodatif. Gubernur The Fed Michael Barr menambahkan bahwa ia masih khawatir dengan inflasi yang berada di angka 3%.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia melaporkan transaksi berjalan Indonesia surplus sebesar US$4,0 miliar atau 1,1% dari PDB pada kuartal III-2025, menjadi surplus pertama sejak 10 kuartal terakhir. Surplus ini ditopang oleh neraca perdagangan Indonesia yang meningkat, terutama surplus neraca perdagangan nonmigas. Defisit neraca jasa menurun seiring kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia.
Neraca pendapatan primer mencatat defisit yang lebih rendah karena penurunan pembayaran imbal hasil investasi asing seiring telah berlalunya periode pembayaran dividen dan bunga/kupon. Defisit neraca perdagangan migas meningkat sejalan dengan kenaikan harga minyak global.
Kinerja transaksi modal dan finansial tetap terkendali di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi. Investasi portofolio mencatat defisit terutama karena aliran keluar modal asing dalam bentuk surat utang. Selain itu, investasi lainnya juga mencatat defisit, dipengaruhi oleh kenaikan pembayaran pinjaman sektor swasta. Bank Indonesia mencatat transaksi modal dan finansial pada triwulan III 2025 mencatat defisit sebesar US$8,1 miliar.
Tinggalkan Komentar
Komentar