periskop.id - Ketika Indonesia memutuskan untuk menjalankan sistem demokrasi dengan multipartai pascareformasi 1998, banyak yang berharap hal itu akan memperkuat representasi rakyat dan mencegah lahirnya kembali otoritarianisme. Namun, setelah lebih dari dua dekade, sistem ini justru melahirkan paradoks: demokrasi yang di atas kertas menjanjikan kebebasan politik, dalam praktiknya menjadi ladang subur bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Biaya Politik dan Orientasi Balik Modal

Salah satu persoalan utama dalam demokrasi di Indonesia adalah ketiadaan aturan ketat mengenai pembatasan biaya kampanye. Mengacu pada publikasi Transparency International Indonesia berjudul Pemantauan terhadap Laporan Dana Kampanye Caleg DPR RI Terpilih pada Pemilu 2024, biaya kampanye calon legislatif (caleg) DPR RI pada Pemilu 2024 tercatat dapat mencapai belasan miliar rupiah.

Sebagai contoh, Masinton Pasaribu, caleg PDI-P dari Dapil Jakarta II, mengaku menghabiskan dana hampir Rp10 miliar. Sementara itu, Ario Bimo Nandito, caleg Partai Golkar dari Dapil Jakarta I, mengeluarkan biaya kampanye hingga belasan miliar rupiah.

Konsekuensinya jelas, hanya mereka yang memiliki modal besar atau akses ke jaringan oligarki ekonomi yang bisa bertahan. Dampak lebih seriusnya, begitu terpilih, orientasi utama pejabat bukan lagi mengabdi kepada rakyat, melainkan mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan. Skema ini menumbuhkan praktik rente politik, di mana pejabat memanfaatkan jabatannya untuk mencari keuntungan pribadi melalui proyek-proyek pemerintah, perizinan, hingga penempatan posisi strategis.

Kondisi tersebut dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai state capture, yaitu bentuk korupsi yang lebih besar dan sistematis. Jika dalam korupsi biasa pejabat hanya melanggar aturan yang sudah ada, misalnya menerima suap agar suatu proyek berjalan lancar, maka dalam state capture aturan itu sendiri dibentuk sejak awal untuk menguntungkan kelompok tertentu.

Dengan kata lain, sekelompok kecil orang—biasanya pengusaha besar atau oligarki—berhasil menguasai proses pembuatan kebijakan negara. Akibatnya, kebijakan publik tidak lagi dibuat demi kepentingan rakyat banyak, melainkan diarahkan untuk melayani kepentingan sempit mereka.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Hellman dkk. (2000), ketika mereka meneliti negara-negara bekas Uni Soviet dan Eropa Timur pasca-runtuhnya komunisme. Dalam temuan mereka, para pengusaha kaya membeli pengaruh melalui suap, janji bantuan, atau koneksi pribadi dengan politisi dan partai berkuasa. Perbedaannya dengan korupsi biasa terletak pada tahap terjadinya penyimpangan. 

Dalam korupsi biasa, aturan sebenarnya sudah ada, tetapi pejabat “dimainkan” atau disuap dalam tahap pelaksanaannya. Sementara itu, state capture terjadi lebih awal, yakni ketika aturan sejak awal sudah “dibeli” atau diarahkan agar sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.

Multipartai dan Koalisi tanpa Oposisi

Masalah kedua adalah sistem multipartai yang diterapkan tanpa kontrol kuat. Berbeda dengan sistem dua partai seperti di Amerika Serikat, di mana oposisi otomatis terbentuk untuk menjaga fungsi check and balance, Indonesia menghadapi risiko "koalisi gemuk."

Koalisi gemuk ini menjadikan hampir seluruh partai bergabung dalam pemerintahan. Akibatnya, oposisi melemah bahkan hampir tidak ada. Menurut Juan Linz (1990), demokrasi dianggap terkonsolidasi apabila tercapai kondisi “the democratic game is the only game in town,” yaitu ketika terjadi transfer kekuasaan politik secara sah dan kekuatan monopoli kelompok lama telah mengalami demonopolisasi melalui pembentukan struktur politik yang kompetitif dan bebas. Namun, sekadar menyediakan struktur kompetisi yang setara tidaklah cukup; diperlukan pula kapasitas institusi demokrasi yang memadai untuk memastikan agenda demokratisasi dapat dijalankan dengan efektif. 

Dalam konteks DPR, koalisi pemerintah dan oposisi harus sama-sama bekerja dalam koridor demokrasi. Kehadiran oposisi penting agar tidak terjadi “monopoli kekuasaan” oleh satu kelompok besar. Jika oposisi lemah atau bahkan absen, maka konsolidasi demokrasi terhambat karena tidak ada pengimbang kekuasaan.

Pemerintah sendiri mengakui hal tersebut dalam Annual Book: Indeks Demokrasi Indonesia 2023 yang disusun bersama Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), serta Badan Pusat Statistik (BPS). Laporan tersebut menegaskan bahwa pada era pasca konsolidasi demokrasi 2020–2023, salah satu tantangan utama bagi demokrasi Indonesia adalah melemahnya oposisi di parlemen, akibat koalisi pendukung pemerintah menguasai sekitar 80% kursi DPR.

Fenomena ini sejalan dengan teori cartel party (Katz & Mair, 1995), yang menjelaskan bahwa partai politik dalam sistem multipartai modern cenderung bertransformasi menjadi kartel, mereka lebih sibuk menjaga kepentingan bersama di lingkaran kekuasaan ketimbang memperjuangkan ideologi atau kepentingan publik.

Kelemahan Kelembagaan

Selain biaya politik dan koalisi tanpa oposisi, problem lainnya adalah lemahnya institusi demokrasi. Transparency International dalam laporan Corruption Perceptions Index 2024 menempatkan Indonesia pada skor 37/100 (peringkat 99 dunia). Skor ini relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir, menandakan bahwa praktik korupsi sudah melembaga.

Demokrasi seharusnya berlandaskan pada supremasi hukum, transparansi, dan akuntabilitas. Namun, lemahnya lembaga penegak hukum yang seharusnya independen justru membuka ruang bagi elite politik untuk semakin leluasa menyalahgunakan kekuasaan. Salah satu contoh yang menonjol adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Revisi ini menempatkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif dan diikuti dengan berbagai pengaturan yang membuat KPK berada dalam bayang-bayang pengaruh pemerintah. Kondisi tersebut pada akhirnya memudahkan politisi maupun birokrat untuk menghindari jerat hukum.

Studi Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment 2023 yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar dari 50 indikator kinerja KPK dalam enam dimensi mengalami penurunan signifikan dibandingkan periode sebelum revisi UU. Penurunan paling besar terjadi pada dimensi Independensi yang merosot 55%, dari 83% pada tahun 2019 menjadi 28% pada tahun 2023. Dimensi Penindakan juga turun 22%, dari 83% menjadi 61%. Sementara itu, dimensi Kerja Sama Antar Lembaga berkurang 25%, dari 83% menjadi 58%. Tiga dimensi lain yaitu Sumber Daya Manusia dan Anggaran, Akuntabilitas dan Integritas, serta Pencegahan juga tercatat mengalami penurunan.

Pada intinya, sistem demokrasi dan multipartai di Indonesia memang memberikan ruang partisipasi politik yang luas. Namun, tanpa regulasi pembiayaan politik yang ketat, tanpa oposisi yang kuat, dan tanpa lembaga yang independen, sistem ini justru menjadi mesin reproduksi KKN.

Demokrasi Indonesia akhirnya berjalan secara prosedural, tetapi miskin substansi. Alih-alih melahirkan pemimpin yang berorientasi pada pelayanan publik, justru lebih banyak menghasilkan elite politik yang berorientasi pada akumulasi modal.

Dengan kata lain, demokrasi kita saat ini belum berhasil menciptakan tata kelola politik yang bersih. Yang ada justru demokrasi biaya tinggi yang rawan diselewengkan.