Periskop.id - Politik kerap dipandang sebagai arena yang keras, penuh persaingan, dan sarat kepentingan. Di dalamnya, nilai-nilai maskulin seperti agresivitas dan dominasi sering dianggap sebagai ukuran kepemimpinan. Akibatnya, perempuan yang berupaya menapaki dunia politik kerap menghadapi tantangan yang tidak dialami oleh rekan laki-lakinya. Pertanyaannya, apakah ruang politik yang maskulin masih bisa menjadi tempat yang aman bagi perempuan?

Budaya Maskulin di Dunia Politik

Hingga kini, politik di Indonesia masih didominasi laki-laki. Berdasarkan data Inter-Parliamentary Union tahun 2024, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya mencapai sekitar 22%. Angka ini menunjukkan masih terbatasnya ruang bagi perempuan untuk berperan dalam pengambilan keputusan.

Budaya patriarki yang mengakar menjadikan politik seolah-olah bukan ruang yang ramah bagi perempuan. Di balik semangat demokrasi yang menjunjung kesetaraan, masih banyak politisi perempuan yang menghadapi komentar seksis, perundungan, dan pelecehan yang bersifat merendahkan.

Pelecehan Verbal dan Intimidasi: Luka yang Tidak Terlihat

Pelecehan verbal adalah bentuk kekerasan yang paling sering dialami politisi perempuan. Komentar tentang penampilan, suara, atau gaya berpakaian masih dianggap hal biasa. Namun, kata-kata tersebut nyatanya bisa meninggalkan luka yang tidak terlihat.

Selain itu, intimidasi juga hadir dalam bentuk yang lebih halus seperti pengucilan dalam forum, pembungkaman pendapat, hingga penyebaran isu pribadi untuk menjatuhkan reputasi. Laporan Komnas Perempuan pada tahun 2023 menemukan bahwa banyak perempuan di dunia politik enggan melapor karena takut citra mereka rusak.

Ketika pelecehan dan intimidasi dianggap wajar, perempuan kehilangan rasa aman untuk berpartisipasi aktif. Di titik inilah politik tidak lagi menjadi wadah aspirasi, melainkan ruang yang menekan keberanian.

Minimnya Perlindungan bagi Politisi Perempuan

Masalah lainnya adalah ketiadaan mekanisme perlindungan yang jelas. Tidak semua partai politik memiliki sistem pelaporan untuk menangani kasus pelecehan atau intimidasi berbasis gender. Akibatnya, korban kerap memilih diam.

Beberapa lembaga seperti UN Women dan Komnas Perempuan telah mendorong lahirnya regulasi yang berpihak pada perempuan, termasuk pelatihan tentang kesetaraan gender dan etika politik. Namun, kebijakan tanpa implementasi nyata hanya menjadi simbol tanpa kekuatan.

Membangun Ruang Aman untuk Demokrasi yang Setara

Ruang aman bagi perempuan tidak dapat terwujud hanya dengan regulasi, tetapi juga perubahan budaya. Pendidikan gender dan pelatihan etika politik perlu menjadi bagian dari pembinaan di partai-partai. Selain itu, media memiliki peran besar dalam menampilkan perempuan politisi berdasarkan gagasan, bukan penampilan.

Ketika perempuan dapat berpolitik tanpa rasa takut, demokrasi menjadi lebih utuh. Nilai-nilai kepemimpinan perempuan seperti empati, kolaborasi, dan keteguhan hati dapat melengkapi karakter politik yang selama ini didominasi oleh nilai maskulin.

Menuju Politik yang Inklusif dan Berkeadilan Gender

Mewujudkan politik yang aman bagi perempuan bukan berarti menghapus nilai maskulin, tetapi menyeimbangkannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan, tanpa memandang gender.

Demokrasi hanya akan kuat jika setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki ruang yang sama untuk berpendapat dan berpartisipasi. Saat ruang aman benar-benar hadir, maka politik tidak lagi menjadi panggung pertarungan, melainkan ruang kerja sama untuk kemajuan bersama.