periskop.id - Apa jadinya jika serangan kebencian justru memunculkan pemimpin baru? Zohran Mamdani tahu jawabannya. Ketika Islamofobia menghantam kampanyenya, ia justru menyalakan wacana baru tentang keberanian, iman, dan representasi. Kisahnya bukan sekadar politik, ini tentang bagaimana identitas bisa menjadi alat perubahan.

Kronologi Serangan Berbasis Agama Selama Kampanye 

Kemenangan Zohran Mamdani di primary election seharusnya menjadi kabar baik bagi politik progresif New York. Namun, sesaat setelahnya, gelombang serangan Islamofobia langsung menghantam.

Di media sosial, narasi kebencian menyebar cepat. Kelompok sayap kanan dan influencer Make America Great Again (MAGA) menuding Mamdani sebagai ancaman dan mempertanyakan loyalitasnya. Bahkan muncul tudingan tak berdasar yang mengaitkannya dengan terorisme.

Laporan investigatif mengungkap, serangan ini terkoordinasi dan memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperbesar kebencian. Dalam hitungan jam, unggahan bernada antimuslim bisa menjangkau ribuan akun. Studi TIME (2025) bahkan mencatat lonjakan tajam konten semacam itu hanya beberapa hari setelah kemenangan Mamdani.

Di tengah ancaman yang bahkan menyentuh ranah fisik, Mamdani tidak bersembunyi. Justru dari badai itulah ia mulai dikenal sebagai simbol keteguhan dan suara baru bagi komunitas muslim di Amerika.

Respons Politik Mamdani: Menjadikan Identitas Sebagai Kekuatan

Alih-alih bersembunyi di balik serangan Islamofobia, Zohran Mamdani memilih menghadapi secara terbuka. Ia mengakui diskriminasi yang dialami Muslim di Amerika, bahkan menyebut bahwa menjadi muslim berarti siap menghadapi penghinaan, hal ini justru menjadikannya panggilan untuk memperjuangkan keadilan.

Identitasnya tidak berhenti di simbol. Mamdani menautkannya pada kebijakan konkret seperti perumahan terjangkau, transportasi publik yang layak, dan hak pekerja. Pendekatan ini membuat serangan berbasis agama kehilangan arah karena lawannya tidak lagi menghadapi seorang muslim, tetapi politisi yang membawa solusi nyata untuk rakyat.

Mamdani juga membangun koalisi lintas agama dan kelas sosial, mulai dari komunitas Yahudi hingga serikat buruh yang secara terbuka membelanya. Solidaritas ini menegaskan bahwa perjuangannya melampaui identitas agama dan menyentuh isu kemanusiaan yang lebih luas.

Strategi Komunikasi: Mengubah Narasi Jadi Kekuatan

Zohran Mamdani tidak membalas serangan dengan amarah, tetapi dengan cara yang lebih cerdas, yaitu dengan mengubah narasi. Ia menjadikan identitas muslimnya bukan beban, tetapi sumber kekuatan politik yang autentik.

Melalui strategi komunikasi yang matang, Mamdani perlahan membalik persepsi publik. Ia tidak menutupi keyakinannya, tetapi justru menjadikannya bagian dari cerita besar tentang keadilan sosial di New York. Pendekatannya dapat dirangkum dalam empat langkah sederhana, tetapi berdampak besar:

  1. Terbuka dan jujur. Ia berbicara apa adanya tentang pengalamannya sebagai muslim dan imigran, menjadikan rasa sakit akibat diskriminasi sebagai bahan refleksi publik, bukan aib. 
  2. Fokus pada isu rakyat. Mamdani menempatkan kebijakan, seperti perumahan, transportasi, dan upah layak di garis depan kampanyenya. Identitasnya hadir sebagai konteks, bukan satu-satunya cerita.
  3. Bangun jembatan lintas komunitas. Ia merangkul berbagai kelompok, mulai dari komunitas Yahudi hingga serikat buruh sebagai bentuk solidaritas nyata melawan diskriminasi. 
  4. Tegas tapi tenang. Saat menanggapi ujaran kebencian, Mamdani tetap rasional. Ia mengkritik tanpa membalas dengan emosi, mengingat bahwa publik lebih mudah percaya pada suara yang konsisten dan tenang. 

Pendekatan ini menunjukkan pemahaman tajam akan framing politik, bagaimana cara menyampaikan pesan bisa mengubah arah percakapan. Di era media sosial yang reaktif, strategi seperti ini bukan hanya mempertahankan reputasi, tetapi juga mengubah serangan menjadi solidaritas.

Islamofobia pasca-9/11 vs Era Digital Sekarang

Setelah tragedi 9/11, gelombang Islamofobia di Amerika meningkat tajam. Saat itu, diskriminasi muncul lewat kebijakan keamanan dan pengawasan berlebihan terhadap warga muslim. Banyak orang diperlakukan curiga hanya karena nama atau penampilannya.

Dua puluh tahun kemudian, bentuknya berubah. Sekarang, serangan tidak lagi datang dari pemerintah, tetapi dari dunia digital melalui komentar kebencian, unggahan viral, dan kampanye terkoordinasi di media sosial.

Kasus Zohran Mamdani menunjukkan pergeseran itu. Ia menjadi sasaran narasi Islamofobia yang menyebar cepat di platform online. Namun, di sisi lain, Mamdani juga menunjukkan cara baru melawan kebencian, yaitu lewat komunikasi publik yang cepat, kerja sama antarkomunitas, dan fokus pada solusi nyata, bukan sekadar identitas agama.

Riset media dan survei sosial menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap Muslim di AS memang belum hilang, tetapi kini bentuknya lebih halus dan tersebar di ruang digital.

Di Balik Keberanian Mamdani: Politik Identitas dan Representasi Minoritas

Kisah Zohran Mamdani bukan sekadar tentang seorang politisi muda yang melawan Islamofobia. Lebih dari itu, kisahnya mencerminkan bagaimana identitas bisa menjadi kekuatan politik. Untuk memahami langkah dan pengaruhnya, dua teori politik berikut membantu kita melihat gambaran yang lebih dalam.

Pertama, ada teori politik identitas. Teori ini menjelaskan bagaimana kelompok yang pernah terpinggirkan seperti komunitas Muslim di Amerika menggunakan pengalaman diskriminasi sebagai dasar perjuangan politik. Dalam konteks Mamdani, identitas Muslimnya tidak ia sembunyikan, tetapi justru dijadikan sumber legitimasi moral dan solidaritas sosial. 

Kedua, teori representasi minoritas. Teori ini membedakan antara representasi deskriptif (kehadiran figur yang mewakili identitas tertentu) dan substantif (kebijakan yang benar-benar memperjuangkan kepentingan kelompok tersebut). Mamdani menunjukkan keduanya, ia bukan hanya “wakil muslim” di parlemen, tetapi juga pembuat kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, melampaui sekat agama dan etnis.

Dengan dua kerangka ini, langkah Mamdani menjadi lebih jelas, ia tidak sekadar melawan stigma, tetapi menulis ulang makna minoritas dalam politik Amerika.

Dari Stigma Menjadi Suara

Perjalanan Zohran Mamdani membuktikan satu hal sederhana dan kuat, bahwa identitas bukan penghalang untuk berjuang, melainkan sumber keberanian untuk mengubah. Di tengah gelombang Islamofobia, ia tidak melawan dengan kebencian, melainkan dengan keberanian, empati, dan kerja nyata.

Dari seorang Muslim di New York, lahirlah suara yang kini menggema jauh melampaui batas agama dan politik, yaitu suara tentang keadilan, kesetaraan, dan harapan.