periskop.id - Beberapa isu memang seperti api kecil yang tak pernah padam. Salah satunya ijazah Joko Widodo. Setiap kali suhu politik meningkat, topik ini muncul kembali di ruang publik, dari forum diskusi sampai lini masa media sosial. Tapi pertanyaannya, apakah ini bentuk kritik yang sah atau justru fitnah yang dikemas rapi dalam narasi politik?
Bagaimana Isu Ijazah Jokowi Bisa Mencapai Meja Polisi?
Isu ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat pada April 2025 setelah sejumlah kanal YouTube politik menuduh ijazahnya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) palsu. Isu ini cepat viral di media sosial.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum Presiden melaporkan para penyebar tuduhan ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025, dengan dugaan penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik.
Tak lama kemudian, UGM mengeluarkan klarifikasi resmi bahwa ijazah Jokowi asli dan sah secara administratif, serta tercatat dalam arsip kampus sesuai prosedur akademik.
Meski sudah diklarifikasi, polisi tetap memeriksa sejumlah saksi dan menyita dokumen ijazah asli Jokowi sebagai bukti penyidikan administratif terhadap penyebar isu palsu.
Publik Terbelah: Kritik atau Fitnah yang Disamarkan?
Menariknya, publik justru terbagi dua. Survei LSI Denny JA (2025) mencatat 74,6% masyarakat tidak percaya tuduhan ijazah palsu, sementara hanya 12,2% yang menyatakan percaya.
Angka ini mengungkap satu hal penting bahwa masyarakat tak selalu menilai berdasarkan bukti, tapi juga narasi. Dalam teori framing media (Robert Entman, 1993), informasi bisa dipelintir dengan memilih bagian tertentu untuk membentuk persepsi. Dengan cara ini, isu yang seharusnya akademik berubah menjadi alat politik yang mengusik emosi publik.
Di sinilah batas antara kritik dan fitnah mulai kabur. Kritik seharusnya menguji kinerja, bukan menyerang legitimasi personal tanpa bukti yang sah.
Hoaks Sebagai Senjata Politik
Fenomena hoaks politik bukan hal baru di Indonesia. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan bahwa hingga akhir 2023, pemerintah telah menangani 12.547 isu hoaks di berbagai platform digital sejak 2018 dan sebagian besar di antaranya berkaitan dengan isu politik dan pemilu.
Sementara itu, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 2.330 sebaran hoaks dengan sekitar 55,5% di antaranya bertema politik. Menurut Mafindo, hoaks politik meningkat signifikan menjelang masa kampanye dan kerap menyerang karakter pribadi tokoh publik, terutama melalui format video di media sosial seperti YouTube dan TikTok.
Dalam studi komunikasi politik, fenomena ini dikenal sebagai weaponization of information, strategi menggunakan informasi palsu sebagai senjata politik. Tujuannya bukan lagi sekadar menyebarkan kesalahan informasi, tapi secara sistematis membentuk persepsi publik dan merusak kredibilitas lawan politik.
Di Mana Batas Hukumnya?
Secara hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE melarang penyebaran informasi elektronik yang berisi penghinaan atau pencemaran nama baik.
Sementara itu, Pasal 310 dan 311 KUHP menegaskan bahwa tuduhan tanpa bukti yang merusak reputasi termasuk tindak pidana fitnah, terutama jika dilakukan dengan sadar bahwa tuduhan itu tidak benar.
Meski begitu, hukum tetap memberi ruang bagi kritik yang disampaikan dengan itikad baik dan berbasis data. Tantangannya, di dunia digital, batas antara kritik dan fitnah kerap kabur, satu unggahan viral bisa langsung membentuk opini publik sebelum kebenarannya diuji.
Demokrasi Butuh Kritik, Bukan Fitnah
Kritik yang sehat adalah bahan bakar demokrasi. Tapi ketika kritik berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, demokrasi justru bisa terbakar oleh fitnah.
Kasus ijazah Jokowi mengingatkan kita bahwa politik bukan hanya soal siapa yang benar, tapi juga siapa yang bertanggung jawab atas kata-katanya. Di era digital, satu unggahan bisa menjadi senjata, tapi juga bisa menjadi pembelajaran.
Tinggalkan Komentar
Komentar