periskop.id - Sosiolog Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Maluku, Dominggus E. B. Saija menegaskan bahwa membuka ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat dapat menjadi langkah efektif mencegah aksi demonstrasi berujung anarkistis.
“Aksi demonstrasi yang terjadi dalam sepekan terakhir pada dasarnya berangkat dari rasa solidaritas masyarakat terhadap isu ketidakadilan yang dirasakan bersama,” ujarnya dilansir dari Antara, Minggu (31/8).
Ia menilai, gerakan sosial politik sulit dibendung ketika masyarakat merasa mengalami ketidakadilan, sehingga aspirasi publik perlu direspons dengan bijak agar tidak berkembang menjadi tindakan yang merugikan.
Dominggus menambahkan, fenomena solidaritas yang muncul di berbagai daerah berpotensi menjalar ke wilayah lain, termasuk Ambon. Namun, langkah antisipasi dapat dilakukan dengan menyediakan ruang dialog yang sehat dan terbuka.
Lebih lanjut, Dominggus menekankan bahwa persoalan yang berkembang saat ini murni bersifat sosial politik, bukan masalah budaya.
Jika melihat data dan pemberitaan beberapa tahun terakhir, ada indikasi kuat bahwa persepsi publik terhadap keterbukaan ruang dialog pemerintah, terutama DPR, memang menurun.
Pemerintah di Mata Warga
Litbang Kompas pada tahun 2022 mencatat 78,7% responden menilai DPR belum memperjuangkan aspirasi rakyat, dan hampir separuhnya merasa aspirasinya tidak didengar.
Menilik situasi terkini, idealnya memang ruang dialog ini sudah lama absen dari pilihan menu “hubungan pemerintah dan warga”. Dalam situasi krisis sosial-politik yang sudah terjadi beberapa hari belakangan, berbagai pihak seperti HIPMI dan Kadin secara terbuka mendesak pemerintah dan DPR untuk segera membuka ruang dialog langsung dengan masyarakat demi meredakan ketegangan.
Berbagai tokoh juga mengingatkan agar pejabat dan anggota DPR mengelola pilihan kata dan menahan diri dalam berbicara, selain lebih mendengarkan aspirasi rakyat, karena ucapan yang merendahkan atau memicu emosi publik dapat memperburuk situasi.
Tabrak Aja Dulu, Orang Indonesia Pemaaf
Analisis The Conversation menyoroti kegagalan komunikasi pemerintah di era digital ini.
Alih-alih membangun dialog proaktif, respons yang muncul sering berupa pernyataan defensif atau klarifikasi setelah krisis, yang justru memperkeruh suasana.
Fenomena “video klarifikasi” atau “video permintaan maaf” dari pejabat, termasuk anggota DPR, kerap muncul setelah pernyataan atau tindakan mereka menuai kemarahan publik.
Contoh terbaru adalah kasus anggota DPR yang berjoget di ruang sidang saat isu sensitif sedang panas; klarifikasi dan permintaan maaf baru disampaikan lewat media sosial setelah kritik meluas.
Disusul pernyataan-pernyataan multitafsir yang dilakukan oleh beberapa anggota DPR seperti, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, Anggota DPR RI (Nasdem) Nafa Urbach yang menjadi bumbu pelengkap sakit hati warga.
Mereka pada akhirnya memang menerbitkan video klarifikasi atau permintaan maaf yang beredar cepat di media sosial, namun permintaan maaf ini tak bisa sepenuhnya meredakan kemarahan publik.
Pola ini menciptakan kesan bahwa komunikasi pemerintah bersifat reaktif, bukan preventif, lebih fokus meredam citra setelah kerusakan reputasi terjadi, ketimbang membangun saluran dialog yang konsisten dan tatap muka.
Implikasi dari pola ini pun membawa defisit terus-menerus pada kepercayaan publik, di mana akhirnya media sosial menjadi ruang “adu kuat edit.” Tak perlu sampai salah bicara, pernyataan-pernyataan yang ambigu pun bisa dengan mudah dinarasikan berbeda di belantara digital yang serba bisa.
Lalu, di konteks sudah serunyam hari ini apakah ruang dialog masih mungkin untuk de-eskalasi?
Masih, namun langkah terpenting adalah tokoh-tokoh yang menjadi target kebencian publik ini kalau bisa ‘disimpan’ untuk sementara waktu, karena konon katanya orang Indonesia pemaaf dan pelupa.
Tinggalkan Komentar
Komentar