periskop.id - Di banyak negara, demonstrasi publik menjadi ruang vital bagi warga untuk menyuarakan aspirasi. Namun, sejarah mencatat bahwa aparat intelijen, baik sipil maupun militer, tak jarang memainkan peran terselubung dalam mengarahkan, memecah, bahkan memprovokasi aksi massa. 

Praktik ini sering kali menimbulkan pertanyaan mendalam, “apakah negara benar-benar melindungi hak sipil, atau justru mengendalikannya dari balik layar?”

Mengutip ragam sumber, salah satu contoh kasus paling terkenal bisa kita lihat dari Amerika Serikat (AS) melalui program rahasia FBI bernama COINTELPRO (Counter Intelligence Program). 

Beroperasi antara 1956 hingga 1971, program ini menyusup ke berbagai gerakan sipil seperti Black Panthers, aktivis anti-perang Vietnam, dan bahkan Martin Luther King Jr. Taktiknya mencakup penyebaran disinformasi, pemalsuan dokumen, dan provokasi internal untuk memecah belah gerakan.

Bergeser ke Jerman Timur, dinas rahasia Stasi menggunakan metode Zersetzung—teknik perang psikologis yang bertujuan menghancurkan stabilitas mental dan sosial individu yang dianggap ancaman. 

Taktik ini meliputi penyebaran rumor, sabotase hubungan pribadi, dan pengawasan ekstrem. Efeknya begitu merusak, hingga banyak korban mengalami gangguan psikologis jangka panjang.

Amerika Latin juga menyimpan jejak kelam. Di Chile dan Argentina pada era diktator militer, aparat intelijen kerap menyusup ke demonstrasi untuk memicu kerusuhan sebagai modal penting untuk melakukan penindakan yang lebih keras. 

Kisah yang juga cukup tenar ada di Panama, di mana Jenderal Manuel Noriega yang awalnya direkrut CIA menjadi agen operasional selama berpuluh-puluh tahun sebelum akhirnya dijatuhkan oleh AS sendiri setelah berkuasa dan tak bisa dikendalikan.

Lalu ada yang Iran menjadi sorotan dunia pascakematian Mahsa Amini pada 2022. Human Rights Watch dan PBB melaporkan penindakan terhadap demonstran sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Laporan menyebut aparat menyamar sebagai demonstran, memicu kekerasan, dan menangkap aktivis secara sewenang-wenang.

Di Rusia, laporan dari berbagai lembaga HAM menyebut bahwa aparat keamanan kerap menyusup ke demonstrasi oposisi, memicu bentrokan, lalu menangkap tokoh-tokoh kunci. 

Taktik-taktik semacam ini sangat umum disebut sebagai controlled chaos yang memungkinkan negara mengklaim bahwa demonstrasi telah melanggar hukum dan seakan-akan melegalkan tindakan yang lebih keras untuk melemahkan gerakan massa.

Indonesia pun tak luput dari sorotan. Dalam demonstrasi besar di Jakarta, Jumat (29/8), tujuh halte Transjakarta, yakni Halte Bundaran Senayan, Pemuda Pramuka, Halte Polda Metro Jaya, Halte Senen Toyota Rangga, Halte Sentral Senen, Halte Senayan, dan Halte Gerbang Pemuda dibakar oleh oknum tak dikenal.

Meski belum ada bukti resmi keterlibatan aparat, spekulasi publik mengarah pada kemungkinan penyusupan provokator untuk menciptakan dalih penindakan.

Pengamat intelijen dari Institute for Security Studies, Dr. Rainer Widodo, menyebut bahwa “penyusupan aparat ke dalam aksi massa bukanlah hal baru. Tujuannya bisa beragam: dari pengumpulan informasi hingga pengendalian narasi publik.”

Kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang dilindas rantis Rimueng milik Brimob, menjadi titik balik kemarahan publik. Demonstrasi yang awalnya damai berubah ricuh, dan sebagian pengamat menilai bahwa kerusuhan bisa saja dipicu oleh pihak yang ingin menciptakan legitimasi untuk represi.

Media asing seperti Reuters dan Al Jazeera menyebut demonstrasi di Indonesia sebagai ujian besar bagi pemerintahan baru. Mereka menyoroti bagaimana kerusuhan bisa menjadi alat untuk mengalihkan perhatian dari tuntutan substansial seperti reformasi ekonomi dan keadilan sosial.

Dalam konteks demokrasi, penyusupan aparat ke dalam demonstrasi sipil adalah pelanggaran serius terhadap hak berkumpul dan berekspresi. Ketika aparat menjadi aktor provokasi, maka garis antara pengamanan dan manipulasi pun menjadi sangat kabur.

Untuk mencegah praktik semacam ini, diperlukan reformasi intelijen yang menjamin akuntabilitas, serta mekanisme pengawasan publik yang kuat. Tanpa itu, demonstrasi akan terus menjadi arena abu-abu antara aspirasi rakyat dan kendali negara.

Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika negara menyusup ke ruang sipil, demokrasi tak hanya terancam, tapi bisa runtuh dari dalam, luruh.