Periskop.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merespons Tuntutan 17+8 dengan enam poin keputusan yang disepakati fraksi-fraksi partai politik. Salah satu poin yang paling ditekankan adalah, komitmen untuk memperkuat transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi serta kebijakan lainnya.
Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai, komitmen tersebut akan menjadi slogan kosong jika tidak dibarengi dengan pembenahan mendasar di tubuh partai politik. Menurutnya, inti dari keberadaan DPR adalah keterbukaan dan pelibatan rakyat dalam setiap kebijakan.
Namun dalam praktiknya, DPR selama ini justru lebih sering bekerja untuk kepentingan internalnya sendiri, ketimbang benar-benar mendengarkan suara masyarakat.
“Partisipasi publik bukan hanya soal menghadirkan uji dengar pendapat yang sifatnya seremonial. Ia harus bermakna, artinya pandangan masyarakat benar-benar memengaruhi arah kebijakan. Kalau hanya janji tanpa perubahan nyata, rakyat tidak akan percaya lagi,” tegas Hardjuno, dalam keterangannya yang diterima Senin (8/9).
Ia menilai akar persoalan terletak pada partai politik sebagai pintu masuk parlemen. Rekrutmen politik selama ini, lanjut Hardjuno, cenderung ditentukan oleh kedekatan dengan elite dan praktik mahar, sehingga hasilnya adalah parlemen yang jauh dari rakyat.
Karena itulah, imbuhnya, transparansi dan partisipasi tidak akan pernah berjalan jika partai tetap dikuasai oleh segelintir orang yang menjadikan politik sekadar ruang dagang sapi.
"Akhirnya DPR didominasi elit keluarga pimpinan partai, pengusaha, dan artis dengan money politic sebagai kerja utama politik mereka. Joget-joget lah di DPR di saat rakyat menderita karena sukses ngibuli rakyat. Jarak kenyataan sehari-hari mereka dengan kenyataan rakyat seperti jarak Bumi dan Pluto," tuturnya.
Ia juga menyinggung praktik jual beli ketok palu anggaran di Badan Anggaran (Banggar) DPR yang selama ini menjadi rahasia umum. Ia menyebut praktik yang dikenal dengan istilah “gentong babi” itu sebagai kebocoran di hulu yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun.
Menurutnya, fenomena ini menunjukkan, partai politik dan DPR bukan hanya gagal transparan, tetapi juga terjebak dalam lingkaran transaksional yang merusak kepercayaan publik.
“Kalau ketok anggaran saja harus pakai hitung-hitungan setoran, bagaimana mungkin DPR bisa bicara transparansi? Semua proses legislasi dan penganggaran akhirnya menjadi komoditas politik yang hanya menguntungkan segelintir orang. Rakyat jelas jadi korban karena uang yang seharusnya untuk kesejahteraan publik justru bocor di meja politik,” kata Hardjuno.
Ia melanjutkan, Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain yang berhasil mendewasakan partainya. Di Jerman, misalnya, partai diwajibkan mempublikasikan laporan keuangan setiap tahun secara rinci, agar masyarakat tahu siapa saja penyandang dana dan bagaimana uang partai digunakan.
Di Korea Selatan, bahkan reformasi partai dilakukan melalui sekolah partai yang mencetak kader-kader muda dengan basis meritokrasi, sehingga proses kaderisasi tidak bergantung pada nama besar keluarga atau patron politik. Di Amerika Serikat, sistem pemilihan pendahuluan atau primaries memberi kesempatan kepada pemilih untuk menentukan siapa yang layak maju sebagai calon legislatif, bukan semata-mata ditentukan oleh ketua partai.
Praktik-praktik tersebut, lanjut Hardjuno, menunjukkan partai politik seharusnya berfungsi sebagai institusi pendidikan politik rakyat, bukan hanya kendaraan kekuasaan elite. “Kalau DPR serius ingin memperkuat transparansi, maka partai harus dibenahi dari hulu. Rekrutmen harus terbuka, kaderisasi harus sehat, dan keuangan partai harus akuntabel. Tanpa itu, semua yang dijanjikan hanya akan dipandang rakyat sebagai jargon belaka,” ujarnya.
Bagi Hardjuno, momen jawaban DPR atas Tuntutan 17+8 seharusnya menjadi titik balik. Tekanan publik yang begitu kuat seharusnya direspons bukan dengan retorika, melainkan dengan langkah konkret yang benar-benar mengembalikan DPR pada fungsinya: menjadi representasi rakyat, bukan representasi elite.
Jawab Tuntutan
Sekadar mengingatkan, sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjawab Tuntutan 17+8 yang disampaikan oleh berbagai kalangan dengan mengeluarkan enam poin keputusan yang telah disepakati oleh fraksi-fraksi partai politik di DPR RI.
Jawaban itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (5/9). Dia mengatakan, respons itu sebagai bentuk transparansi DPR untuk mengevaluasi secara total.
"Kami sampaikan hasil keputusan rapat konsultasi Pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi DPR RI yang dilaksanakan kemarin pada hari Kamis tanggal 4 September 2025," kata Dasco.
Poin yang pertama, yakni DPR RI menyepakati menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR RI terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2025. Lalu yang kedua, DPR RI melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri DPR RI terhitung sejak tanggal 1 September 2025 kecuali menghadiri undang kenegaraan.
Ketiga, DPR RI akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR setelah evaluasi meliputi biaya langganan. "Ada listrik dan biaya jasa telpon, kemudian biaya komunikasi intensif dan biaya tunjangan transportasi," imbuhnya.
Poin keempat, Anggota DPR RI yang telah dinonaktifkan oleh partai politiknya tidak dibayarkan hak-hak keuangannya. Kemudian poin yang kelima, Pimpinan DPR menindaklanjuti penonaktifan beberapa Anggota DPR RI yang telah dilakukan oleh partai politik masing-masing.
Hal ini dilakukan dengan meminta Mahkamah Kehormatan DPR RI, untuk berkoordinasi dengan mahkamah partai politik masing-masing yang telah memulai pemeriksaan terhadap Anggota DPR RI dimaksud. Lalu, terakhir poin yang keenam, DPR RI akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya.
"Ditandatangani oleh Pimpinan DPR RI Ibu Puan Maharani, saya Sufmi Dasco Ahmad, Pak Saan Mustopa, dan Pak Cucun Ahmad Syamsurizal," kata Dasco.
Tinggalkan Komentar
Komentar