periskop.id - Bayangkan seorang perempuan keturunan Tionghoa, beragama Kristen, berdiri di podium pelantikan sebagai Gubernur Maluku Utara, sebuah provinsi dengan mayoritas penduduk laki-laki dan beragama Islam.
Sosok itu bernama Sherly Tjoanda. Kemenangannya bukan sekadar berita politik biasa. Ini adalah simbol perubahan cara pandang masyarakat terhadap siapa yang ‘layak’ menjadi pemimpin. Sherly membuktikan bahwa kemampuan dan integritas tidak ditentukan oleh jenis kelamin, etnis, atau agama.
Perempuan: Menembus Langit-Langit Kaca
Kalau kita bicara soal perempuan di politik, jalan menuju puncak masih panjang.
Dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024 saja, hanya ada dua nama perempuan yang berhasil duduk di kursi gubernur, yaitu Sherly Tjoanda dan Khofifah Indar Parawansa. Dari total 38 provinsi, angka ini baru sekitar 5,2%.
Artinya, perempuan yang berhasil menembus ‘langit-langit kaca’ politik Indonesia masih bisa dihitung dengan jari.
Di titik inilah Sherly jadi sosok penting. Ia bukan hanya gubernur perempuan pertama di Maluku Utara, tapi juga simbol bahwa ruang bagi perempuan di politik semakin nyata, walau perjuangannya tentu belum selesai.
Menariknya, perjuangan Sherly tidak hanya soal gender. Ia juga membawa identitas lain yang kerap menghadapi tantangan tersendiri di Indonesia, yaitu etnis Tionghoa.
Tionghoa: Dari Pinggiran Menuju Panggung Utama
Sebagai warga keturunan Tionghoa, Sherly mewakili kelompok yang punya sejarah panjang di negeri ini, sejarah yang tidak selalu mudah.
Menurut penelitian berjudul “Chinese Indonesians and China-Indonesia Relations: A Juxtaposition of Identity and Politics”, masyarakat Tionghoa pada masa lalu sering menghadapi diskriminasi dan pembatasan, terutama di ranah politik.
Kebijakan asimilasi di masa Orde Baru bahkan menekan ekspresi budaya dan identitas mereka. Tapi sejak era Reformasi 1998, banyak hal berubah. Ruang partisipasi politik semakin terbuka, dan kini makin banyak tokoh Tionghoa yang aktif di legislatif dan partai politik.
Namun, posisi eksekutif setingkat gubernur masih sangat jarang diraih. Maka, kemenangan Sherly bukan sekadar pencapaian pribadi, tapi juga simbol penerimaan masyarakat terhadap pemimpin dari latar etnis minoritas.
Bukan hanya etnis yang jadi sorotan, identitas agamanya juga menarik untuk dibahas.
Kristen: Keyakinan di Tengah Mayoritas
Maluku Utara dikenal sebagai provinsi dengan penduduk mayoritas Muslim. Namun, kini daerah tersebut dipimpin oleh seorang perempuan beragama Kristen.
Menurut data Pew Research Center (2024), umat Kristen di Indonesia hanya sekitar 11% dari total populasi. Fakta ini menunjukkan sesuatu yang menarik, yaitu pemilih tidak lagi terpaku pada latar belakang agama, tetapi mulai menilai kapasitas dan visi calon pemimpin.
Kondisi ini menggambarkan bahwa demokrasi lokal di Maluku Utara semakin matang, lebih inklusif, terbuka, dan rasional.
Mengapa Gabungan “Perempuan, Tionghoa, dan Kristen” Begitu Penting?
Kemenangan Sherly bukan sekadar kisah sukses satu orang. Ia membawa tiga identitas minoritas sekaligus, yaitu perempuan, Tionghoa, dan Kristen yang jarang kita temui bersatu dalam satu sosok pemimpin.
Kombinasi ini membuatnya jadi simbol perubahan sosial dan politik di Indonesia. Ia menantang pandangan lama tentang siapa yang dianggap pantas memimpin, terutama di wilayah mayoritas laki-laki dan Muslim.
Hasil survei CSIS tahun 2023 bahkan menunjukkan bahwa lebih dari 60% pemilih muda kini memilih pemimpin berdasarkan integritas dan program kerja, bukan latar belakang etnis atau agama.
Artinya, masyarakat terutama generasi muda mulai melihat politik dengan kacamata yang lebih rasional dan terbuka.
Kemenangan Sherly menjadi bukti bahwa Indonesia sedang bergerak menuju demokrasi yang lebih baik, semua orang dengan latar belakang apapun, punya kesempatan yang sama untuk memimpin.
Tinggalkan Komentar
Komentar