periskop.id - Lembaga Sensor Film (LSF) mengungkapkan bahwa perhatian masyarakat terhadap klasifikasi usia film di Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan, hanya 46% penonton yang benar-benar memperhatikan kategori usia sebelum menonton film. Temuan ini menjadi sorotan karena klasifikasi usia sejatinya dirancang untuk melindungi penonton, khususnya anak-anak, dari konten yang belum sesuai dengan perkembangan psikologis mereka.
Ketua LSF saat itu, Ahmad Yani Basuki, menegaskan bahwa klasifikasi usia bukan sekadar formalitas.
“Klasifikasi usia adalah panduan penting agar penonton, terutama orang tua, bisa memilih tontonan yang tepat bagi anak-anaknya,” ujarnya dilansir dari Antara, Rabu (29/10).
Fenomena ini sejalan dengan riset global. Sebuah studi UNESCO (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 60% orang tua di Asia Tenggara mengaku kesulitan mengawasi tontonan anak karena akses digital yang semakin luas. Hal ini memperkuat urgensi klasifikasi usia sebagai filter awal sebelum anak mengonsumsi konten hiburan.
LSF menilai rendahnya kepedulian masyarakat dipengaruhi oleh minimnya sosialisasi dan kebiasaan menonton yang lebih berorientasi pada hiburan semata.
“Banyak orang tua yang menganggap semua film bisa ditonton bersama keluarga, padahal tidak demikian,” kata Ahmad Yani.
Selain itu, perkembangan platform digital juga menambah tantangan. Data We Are Social (2023) mencatat bahwa lebih dari 70% pengguna internet Indonesia menonton film melalui layanan streaming, yang sering kali tidak menampilkan klasifikasi usia secara jelas di layar utama. Kondisi ini membuat pengawasan semakin sulit.
Meski demikian, LSF menegaskan pihaknya terus berupaya memperkuat regulasi dan sosialisasi. Program literasi media, kerja sama dengan sekolah, hingga kampanye publik melalui media sosial menjadi strategi utama.
“Kami ingin masyarakat memahami bahwa klasifikasi usia bukan untuk membatasi, melainkan melindungi,” jelas Ahmad Yani.
Dari sisi industri, penerapan klasifikasi usia juga penting untuk menjaga kredibilitas perfilman nasional. Produser film diharapkan lebih transparan dalam menyampaikan kategori usia agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari.
Hal ini sejalan dengan praktik di negara lain, seperti Amerika Serikat dengan sistem MPAA Rating atau Inggris dengan BBFC Classification.
Pengamat media menilai, jika kesadaran publik terhadap klasifikasi usia meningkat, maka kualitas ekosistem perfilman juga akan ikut terangkat. Penonton akan lebih selektif, produser lebih bertanggung jawab, dan pemerintah lebih mudah mengawasi. Dengan demikian, film tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana edukasi yang sehat.
Ke depan, LSF berharap angka kepedulian masyarakat terhadap klasifikasi usia bisa meningkat signifikan.
“Target kami adalah membangun budaya menonton yang cerdas. Dengan begitu, perfilman Indonesia bisa berkembang tanpa mengorbankan aspek perlindungan penonton,” pungkas Ahmad Yani.
Tinggalkan Komentar
Komentar