periskop.id - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kelemahan tata kelola pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menimbulkan salah satu dampak yakni kasus keracunan MBG
yang terjadi di banyak daerah di Indonesia.
Peneliti dan Analis Kebijakan CIPS Jimmy Daniel Berlianto menilai agar pemerintah melakukan penghentian dan mengevaluasi jalannya program ini.
“Tantangan tata kelola Program MBG muncul karena belum adanya kerangka regulasi yang jelas. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan segera menyiapkan dasar aturan yang kuat agar program berjalan efektif dan akuntabel,” kata Jimmy dalam keterangannya, Rabu (29/10).
Dia menilai program MBG hingga kini belum memiliki kerangka regulasi yang jelas, baik dalam bentuk Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Presiden (Perpres). Ketiadaan dasar hukum ini menimbulkan ketidakpastian dalam pembagian peran antar lembaga.
Kasus keracunan, misalnya, baru mendorong Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk terlibat lebih aktif dalam pelaksanaan program.
Kerangka regulasi yang kuat diperlukan untuk memperjelas pembagian kewenangan antar Kementerian dan Lembaga terkait, seperti Badan Gizi Nasional (BGN) dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), serta memastikan koordinasi berjalan efektif.
"Dengan target jangka panjang menjangkau 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir 2025 dan target penyelesaian pada Maret 2026, pelaksanaan Program MBG tanpa perbaikan tata kelola hanya akan memperbesar skala masalah yang sudah ada, seperti keracunan, gizi tidak terstandar, keterlambatan di daerah 3T," ujar Jimmy.
Pihaknya merekomendasikan tiga hal sebagai acuan evaluasi dan pengembangan program MBG, yang pertama adalah pemerintah perlu mengatur pelaksanaan MBG dalam sebuah kerangka regulasi untuk memastikan adanya pembagian dan penerjemahan peran antar lembaga yang jelas.
Selanjutnya, pelaksanaan Program MBG perlu melibatkan pemangku kepentingan daerah sebagai aktor inti. Pelibatan pemangku kepentingan daerah dibutuhkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan program dalam menyediakan makanan bergizi, menentukan target yang efektif dan efisiensi penggunaan anggaran.
Ketiga, sekolah perlu menjadi aktor utama dalam memimpin perancangan dan pelaksanaan program ini. Hal ini selaras dengan kebutuhan sekolah dan konteks lokal.
"Peran sekolah selama ini lebih berkaitan dengan mendata dan mengelola distribusi di dalam sekolah. Padahal, manajemen dan komunitas sekolah lebih bisa berperan untuk mengelola program secara keseluruhan dan turut mengawasi," terang dia.
Selain ketiga rekomendasi tadi, Jimmy menegaskan pemerintah perlu menunda perluasan dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Program MBG sebelum mengalokasikan anggaran yang lebih besar.
Tinggalkan Komentar
Komentar