periskop.id - Perempuan lajang kerap dipandang dengan stigma sosial, seolah-olah kebahagiaan hanya bisa diraih melalui pernikahan atau hubungan romantis. Namun, penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa banyak perempuan justru menemukan kepuasan hidup lebih besar ketika memilih hidup sendiri.

Melansir Women's Health, psikolog sosial Bella DePaulo, peneliti kehidupan lajang selama lebih dari 20 tahun, menegaskan bahwa perempuan lajang tidak secara otomatis selalu terkait dengan kesepian atau kurang bahagia. 

“Perempuan lajang sering kali lebih mandiri, lebih terhubung dengan komunitas, dan memiliki ruang untuk mengembangkan diri,” ujarnya.

Data Pew Research Center 2023 menunjukkan sekitar 45% orang dewasa di Amerika Serikat berstatus lajang. Mayoritas perempuan dalam kelompok ini melaporkan tingkat kepuasan hidup yang tinggi, menantang asumsi lama bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.

Kebebasan dan Stabilitas Keuangan

Banyak perempuan lajang mengaku menikmati kebebasan dalam mengatur waktu, karier, dan keuangan. Mereka tidak harus menyesuaikan diri dengan pasangan, sehingga bisa lebih fokus pada tujuan pribadi. 

“Saya bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk hidup saya tanpa kompromi yang melelahkan,” kata seorang responden dalam sebuah survei yang dilakukan Women’s Health.

Selain itu, perempuan lajang cenderung memiliki jaringan sosial lebih luas. Mereka lebih sering menjaga hubungan dengan teman, keluarga, dan komunitas. 

Studi American Psychological Association menemukan bahwa orang lajang lebih aktif dalam kegiatan sosial dibandingkan mereka yang menikah.

Merdeka-nya mereka secara finansial juga menjadi faktor penting. Tanpa harus berbagi tanggung jawab rumah tangga, perempuan lajang bisa lebih leluasa mengatur pengeluaran dan investasi. Hal ini memberi rasa aman sekaligus kendali penuh atas masa depan.

Namun, tekanan sosial tetap ada. Banyak perempuan lajang menghadapi pertanyaan berulang dari keluarga atau lingkungan tentang kapan akan menikah. 

Tekanan ini sangat mungkin menjadi ganjalan utama di mana mampu menghadirkan stres, meski tidak selalu mengurangi kebahagiaan mereka.

“Norma sosial sering kali membuat perempuan lajang merasa ada yang salah dengan pilihan mereka. Padahal, hidup lajang bisa sama valid dan bermakna dengan hidup berpasangan,” jelas DePaulo.

Menepis Kesepian dengan Mengejar Pendidikan

Kesehatan mental juga menjadi sorotan. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan lajang memiliki tingkat stres lebih rendah dibandingkan mereka yang berada dalam pernikahan bermasalah. Hidup tanpa konflik rumah tangga memberi ruang lebih besar untuk menjaga keseimbangan emosional.

Di sisi lain, perempuan lajang juga menghadapi tantangan kesepian. Namun, riset Harvard Study of Adult Development menekankan bahwa kualitas hubungan sosial lebih penting daripada status pernikahan. Artinya, perempuan lajang dengan lingkaran sosial sehat tetap bisa bahagia.

Banyak perempuan lajang memanfaatkan waktu mereka untuk mengejar pendidikan lanjutan, membangun karier, atau melakukan perjalanan. Aktivitas ini memperkaya pengalaman hidup sekaligus meningkatkan rasa percaya diri.

Fenomena ini terlihat jelas di kota-kota besar. Di Jakarta, misalnya, jumlah perempuan lajang usia produktif terus meningkat. Data BPS 2024 menunjukkan sekitar 32% perempuan usia 25–39 tahun belum menikah, sebagian besar karena fokus pada karier dan pendidikan.

Memahami Konsep Self-Love

Kebahagiaan perempuan lajang juga terkait erat dengan konsep self-love. Mereka belajar menerima diri apa adanya, merayakan pencapaian pribadi, dan tidak mendefinisikan diri berdasarkan status hubungan.

Meski begitu, penting diingat bahwa kebahagiaan bersifat subjektif. Ada perempuan yang bahagia dalam pernikahan, ada pula yang bahagia dalam kesendirian. Paling penting adalah kebebasan memilih jalan hidup masing-masing tanpa tekanan sosial.

Tren global menunjukkan semakin banyak perempuan memilih menunda atau bahkan tidak menikah. Bagi mereka, kebahagiaan bukan soal status, melainkan kualitas hidup yang dijalani.

Riset Gallup 2022 juga menemukan bahwa perempuan lajang dengan pendidikan tinggi melaporkan tingkat kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan perempuan menikah dengan kondisi ekonomi terbatas.

Selain itu, perempuan lajang lebih sering terlibat dalam kegiatan sukarela dan komunitas. Aktivitas ini memperkuat rasa memiliki dan memberi makna lebih dalam pada kehidupan mereka.

Kebahagiaan perempuan lajang juga dipengaruhi oleh kemampuan mengelola waktu. Tanpa beban rumah tangga, mereka bisa lebih fokus pada kesehatan fisik, olahraga, dan hobi. Hal ini terbukti meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Dengan semakin terbukanya wacana publik, stigma terhadap perempuan lajang mungkin tak akan pernah bisa berkurang. Pada akhirnya, pemahaman akan kebahagiaan adalah perspektif unik setiap individu bisa mendorong perempuan lebih percaya diri dengan pilihan mereka hidup soliter.