periskop.id - Bayangkan sebuah dunia ketika nyawa manusia tidak lagi dijadikan taruhan atas sebuah kejahatan. Hanya keyakinan bahwa keadilan bisa ditegakkan tanpa harus mengakhiri hidup seseorang. Apakah dunia tanpa hukuman mati akan lebih aman? Atau justru membuka ruang bagi pelaku kejahatan untuk bertindak tanpa takut?
Pertanyaan itu terus bergema di banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagian menilai hukuman mati perlu demi efek jera, sebagian lain menganggapnya bentuk pelanggaran hak hidup. Mari kita telusuri, seperti apa negara yang sudah menghilangkan hukuman mati.
Mengapa Banyak Negara Menghapus Hukuman Mati?
Selama berabad-abad, hukuman mati dianggap bentuk keadilan tertinggi. Namun, seiring berkembangnya nilai kemanusiaan, banyak negara mulai meninjau ulang efektivitasnya.
Menurut laporan Amnesty International (2024), terdapat 113 negara yang menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan sehingga total 145 negara telah menghapus atau menghentikan praktiknya.
Alasannya beragam, mulai dari penghormatan terhadap hak hidup sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal HAM, sampai risiko salah vonis yang tak bisa diperbaiki.
Contohnya, Kanada yang menghapus hukuman mati pada tahun 1976 lewat Bill C-84. Sebelum kebijakan itu berlaku, banyak orang khawatir angka kejahatan akan naik karena dianggap tidak ada lagi efek jera bagi pelaku. Uniknya, data justru menunjukkan tingkat pembunuhan di Kanada menurun dari 3,09 per 100.000 penduduk pada tahun 1975 menjadi 1,95 pada 2020.
Dari kasus itu, muncul pertanyaan penting, apakah penghapusan hukuman mati benar-benar menurunkan tingkat kejahatan?
Apakah Kejahatan Turun Setelah Hukuman Mati Dihapus?
Sebuah penelitian dari Abdorrahman Boroumand Center (2018) menganalisis 11 negara yang telah menghapus hukuman mati. Hasilnya cukup mengejutkan, 10 dari 11 negara mengalami penurunan angka pembunuhan dalam dekade setelah penghapusan. Artinya, tanpa ancaman hukuman mati sekali pun, tingkat kejahatan berat justru bisa menurun.
Fakta ini sejalan dengan data dari FBI di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa negara bagian yang tidak menerapkan hukuman mati memiliki angka pembunuhan lebih rendah dibandingkan dengan negara bagian yang masih mempertahankannya.
Dengan kata lain, ancaman hukuman mati tidak otomatis membuat seseorang takut berbuat jahat. Faktor sosial, ekonomi, penegakan hukum, dan pendidikan ternyata jauh lebih berpengaruh terhadap tingkat kriminalitas.
Namun, bagaimana dengan Indonesia? Apakah konteksnya sama?
Indonesia dan Dilema Hukuman Mati
Indonesia termasuk negara yang masih mempertahankan hukuman mati, terutama untuk kejahatan luar biasa, seperti terorisme dan narkotika. Argumen utama pemerintah, yaitu untuk memberikan efek jera. Namun, data menunjukkan situasi yang lebih kompleks.
Menurut laporan Komnas HAM RI (2021), terdapat 401 terpidana mati di Indonesia dengan sebagian besar menunggu eksekusi selama bertahun-tahun. Dari jumlah itu, 230 orang menunggu kurang dari 5 tahun, 107 orang menunggu 5–10 tahun, dan 2 orang sudah menunggu lebih dari 20 tahun.
Data terbaru dari Amnesty International Indonesia (2024) mencatat lebih dari 550 terpidana mati masih berada di deret tunggu, dengan 64 dari 85 vonis hukuman mati tahun itu terkait kasus narkotika.
Masalah lain yang muncul adalah lamanya masa tunggu di sel terpidana mati atau yang dikenal sebagai death row phenomenon. Penantian bertahun-tahun ini kerap disebut sebagai bentuk penyiksaan psikologis, melanggar prinsip kemanusiaan sebagaimana disoroti oleh Komnas Perempuan.
Dengan kondisi seperti ini, efektivitas hukuman mati sebagai instrumen keadilan menjadi semakin dipertanyakan.
Mencari Alternatif: Keadilan Tanpa Mengambil Nyawa
Banyak negara kini mulai beralih ke sistem restorative justice atau keadilan restoratif. Konsep ini berfokus pada pemulihan korban, pertanggungjawaban pelaku, dan rehabilitasi sosial alih-alih pembalasan.
Model seperti ini terbukti efektif di beberapa negara Eropa. Norwegia, misalnya, dengan pendekatan rehabilitatifnya berhasil menurunkan tingkat residivisme hingga di bawah 20%, salah satu yang terendah di dunia. Pendekatan ini bukan berarti memaafkan kejahatan berat, tetapi mencari cara agar hukuman menghasilkan perubahan, bukan hanya kematian.
Namun tentu saja, langkah menuju penghapusan hukuman mati tidak mudah. Masyarakat masih memandang hukuman mati sebagai bentuk keadilan bagi korban. Tantangannya adalah bagaimana meyakinkan publik bahwa keadilan bisa ditegakkan tanpa mengorbankan prinsip kemanusiaan.
Tinggalkan Komentar
Komentar