periskop.id - Bagi sebagian pendaki, menaklukkan Gunung Everest adalah ujian ketangguhan dan tekad yang paling tinggi, simbol perjuangan manusia melawan alam. Namun bagi yang lain, puncak tertinggi dunia itu kini lebih mirip tempat sampah raksasa bersalju.

Setiap tahun, ada setidaknya 600 pendaki melakukan perjalanan dari base camp menuju puncak. Selama berada di Everest, masing-masing diperkirakan menghasilkan sekitar 8kg sampah, sebagian besar ditinggalkan begitu saja. 

Para pendaki kerap melintasi sisa-sisa beku wadah makanan, tabung oksigen, kaleng bir, hingga kotoran manusia yang membeku. 

Mengutip PopSci, tahun lalu saja, pemerintah Nepal bersama para Sherpa dilaporkan mengangkut 10,8 ton sampah dan jasad pendaki dari lereng gunung ini. Pengumpulan sampah dilakukan secara manual di suhu yang membeku, pekerjaan yang berat dan berisiko. Beruntungnya, pendekatan baru menggunakan drone mulai diterapkan untuk membuat proses ini lebih aman dan efisien. 

Perusahaan Nepal, Airlift Ventures, mengoperasikan beberapa drone DJI FlyCart 30 buatan Tiongkok untuk terbang ke kamp, mengambil sampah dari petugas, lalu membawanya turun untuk dibuang. Pada musim pendakian terbaru, drone Airlift berhasil mengangkut 300kg sampah dari Base Camp.

Selain mengangkut sampah, drone ini juga digunakan untuk mengirim tangga, tabung oksigen, dan perlengkapan penting lainnya ke kamp pendakian. 

Masing-masing drone mampu membawa beban hingga 15kg sekali terbang. Meski bentuknya mirip drone hobi berukuran besar, harganya jauh lebih mahal, sekitar US$20.000 per unit. Drone ini dapat beroperasi pada suhu serendah -20°C dan menahan hembusan angin hingga 40 km/jam.

Di luar Everest, Airlift juga telah menggunakan drone untuk mengangkut 641kg sampah dari Gunung Ama Dablam di Himalaya timur, Provinsi Koshi, Nepal. 

“Hanya dalam 10 menit, sebuah drone dapat membawa sampah sebanyak yang dibawa 10 orang dalam enam jam,” kata Kepala Komite Pengendalian Polusi Sagarmatha, Tshering Sherpa.

Musim ini, drone juga mencatat rekor pengiriman di ketinggian lebih dari 6.000 meter, yang diklaim Airlift sebagai pengiriman drone tertinggi di dunia.

Masalah sampah di Everest sendiri sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Sejak 1950-an, lebih dari 4.000 orang dilaporkan berhasil mencapai puncak. Taman Nasional Sagarmatha, yang mencakup wilayah Everest, menarik lebih dari 100.000 pengunjung setiap tahun. 

Lonjakan ini memicu kepadatan pendaki, termasuk foto-foto viral antrean panjang di jalur menuju puncak dan semakin banyak jalur yang dipenuhi sampah peninggalan pendaki sebelumnya.

Pada 2019, pemerintah Nepal meluncurkan program pembersihan dengan target 10 ton sampah dari Everest. Mereka juga memberlakukan sistem deposit US$4.000 bagi pendaki, yang akan dikembalikan jika mereka membawa turun setidaknya 8 kilogram sampah. 

Namun, pembatasan jumlah pendaki yang diizinkan mendaki, meski efektif mengurangi sampah, sulit dilakukan karena izin pendakian menjadi sumber pendapatan penting bagi negara.

Airlift menyatakan akan terus mengoperasikan “truk sampah terbang” ini pada musim pendakian mendatang untuk menghapus reputasi Everest sebagai “tempat sampah tertinggi di dunia”. 

Meski menjanjikan, solusi ini belum sempurna. Udara tipis dan hembusan angin tak menentu di ketinggian ekstrem membuat drone tidak dapat beroperasi di beberapa kamp terakhir menjelang puncak. Artinya, para pendaki yang tetap ingin mencapai puncak masih harus berhati-hati melangkah agar tidak menginjak kotoran manusia yang membeku.

Dengan teknologi ini, setidaknya sebagian besar jalur pendakian dapat dibersihkan tanpa membahayakan nyawa petugas pembersih.