periskop.id - Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang terlindas mobil taktis Brimob di Jakarta Pusat pada 28 Agustus 2025, menimbulkan gelombang kemarahan publik. 

Demonstrasi merebak, keluarga korban menuntut keadilan, sementara sorotan media tertuju pada pertanyaan besar: bagaimana sebenarnya mekanisme pertanggungjawaban hukum bagi polisi yang melakukan pelanggaran berat?

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menegaskan, anggota Polri yang terlibat tindak pidana diproses di peradilan umum, sama seperti warga sipil lainnya. 

Artinya, jika terbukti ada unsur pidana dalam kasus Affan, aparat yang bertanggung jawab wajib diajukan ke kejaksaan dan diadili di pengadilan negeri. Prinsip ini diperkuat oleh Pasal 29 yang menutup celah impunitas bagi aparat.

Namun, jalur pidana bukan satu-satunya mekanisme. Di internal Polri, terdapat Sidang Kode Etik Profesi yang menangani pelanggaran etik dan disiplin. 

Sanksinya beragam, mulai dari teguran, demosi, penundaan kenaikan pangkat, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Dengan demikian, seorang anggota polisi bisa menghadapi dua jenis hukuman sekaligus: pidana dari pengadilan umum dan administratif dari institusinya.

Praktik ini bukan hal baru. Kasus Ferdy Sambo pada 2022–2023 menunjukkan bagaimana peradilan umum menjatuhkan vonis seumur hidup karena pembunuhan berencana, sementara sidang etik Polri memutuskan PTDH. 

Begitu pula tragedi Kanjuruhan 2022, ketika sejumlah pejabat kepolisian diseret ke meja hijau atas kelalaian yang menewaskan 135 orang. 

Dua contoh itu menjadi preseden bahwa polisi tidak kebal hukum dan bisa diproses secara ganda.

Dalam kasus Affan, tujuh anggota Brimob yang berada di kendaraan sudah diperiksa secara internal. 

Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana proses itu akan dilanjutkan ke ranah pidana. 

Publik menuntut transparansi, agar keadilan tidak berhenti pada sanksi etik semata.

Keadilan bagi Affan bukan hanya soal memberi hukuman bagi pelaku, tetapi juga menjaga akuntabilitas institusi. 

Dengan menegakkan aturan sesuai UU dan prinsip persamaan di depan hukum, Polri dapat membuktikan komitmennya sebagai aparat penegak hukum yang tidak hanya menuntut, tetapi juga siap diadili ketika melanggar.