Periskop.id - Bom molotov, atau molotov cocktail, dikenal sebagai senjata rakitan sederhana yang terbuat dari botol kaca berisi cairan mudah terbakar dan sumbu api. Walau bentuknya sederhana, senjata ini telah menjadi ikon perlawanan rakyat di berbagai belahan dunia selama hampir satu abad.
Nama ‘Molotov’ sendiri berasal dari Vyacheslav Molotov, Menteri Luar Negeri Uni Soviet pada masa Perang Dunia II. Lucunya, Molotov bukan penciptanya, justru namanya disematkan oleh musuh Soviet sebagai bentuk sindiran.
Asal-usul dari Perang Soviet–Finlandia
Dilansir dari Britannica, bom molotov muncul pada Perang Soviet–Finlandia (1939–1940). Molotov yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri Soviet pada 1939, menyetujui invasi ke Finlandia pada awal Perang Dunia II, yang memicu Perang Soviet–Finlandia. Dalam propaganda, Molotov menyebut bom cluster yang dijatuhkan ke Finlandia sebagai ‘paket makanan’ untuk warga Finlandia yang kelaparan.
Saat itu, para pejuang Finlandia berusaha menahan invasi Uni Soviet dengan menggunakan senjata pembakar sederhana dari botol berisi campuran ter, etanol, dan bensin, dengan sumbu di ujungnya. Sebagai balasan satir, para pejuang Finlandia menamai senjata pembakar botol mereka ‘molotov cocktail’, yang bermakna minuman pendamping paket makanan Molotov.
Sebagaimana dukungan, pabrik penyulingan di Rajamäki, dekat Helsinki, yang dimiliki oleh perusahaan alkohol, Oy Alkoholiliike Ab, beralih memproduksi bom ini. Sekitar 540.000 bom molotov dibuat oleh lebih dari 90 pekerja, hampir semuanya perempuan. Pabrik tersebut bahkan memasang meriam antipesawat untuk menghadapi pembom Soviet.
Sebelum Finlandia: dari Spanyol hingga Irlandia
Meski istilahnya lahir di Finlandia, bom molotov sudah digunakan sebelumnya. Pada 1922, Irish Republican Army (IRA) memakai botol bensin-parafin untuk melawan pasukan Inggris.
Penggunaan besar pertama terjadi di Perang Saudara Spanyol (1936). Pasukan Nasionalis di bawah Francisco Franco, kekurangan senjata antitank, menggunakan bom molotov untuk membakar tank Soviet milik kaum Republik.
Tank pada masa itu masih memakai bahan bakar bensin, bukan diesel, sehingga mudah terbakar. Selain menghancurkan mesin, asap dari tar di dalam campuran bisa membutakan kru tank dan menghalangi pandangan penembak.
Adaptasi di Inggris dan Perang Dunia II
Ketika ancaman invasi Nazi membayangi Inggris pada 1940, pemerintah Inggris memproduksi bom molotov dalam skala besar.
Inggris kemudian mengembangkan granat No. 76, versi militer dari bom molotov yang berisi karet cair dan penyalaan fosfor otomatis. Sekitar 6 juta unit diproduksi dan disimpan di seluruh negeri, di mana beberapa masih ditemukan hingga kini.
Setelah Perang Dunia II, bom molotov bertransformasi dari senjata darurat menjadi simbol perlawanan sipil, di antaranya:
- Pejuang Hungaria menghancurkan sekitar 400 tank Soviet dalam Revolusi 1956.
- Digunakan dalam Pemberontakan Praha 1968, protes Prancis dan Irlandia Utara, hingga aksi massa di Hong Kong, Iran, Mesir, dan Nikaragua.
- Dalam perang Rusia–Ukraina (2022–kini), bom molotov kembali digunakan oleh milisi sipil Ukraina melawan pasukan Rusia.
Di Venezuela, konsepnya bahkan diadaptasi menjadi ‘puputov’ pada 2017, yakni botol kaca berisi kotoran yang dilempar ke aparat keamanan sebagai bentuk protes simbolik terhadap kekerasan negara.
Hingga kini, bom molotov masih mempertahankan rancangan klasiknya, yakni botol kaca, bahan bakar cair, dan sumbu kain. Desainnya murah, mudah dibuat, dan efektif untuk menciptakan gangguan visual dan psikologis. Karena itu, bom molotov kerap dijuluki ‘grenade of the poor’ atau granatnya rakyat biasa.
Tinggalkan Komentar
Komentar