periskop.id - Pemerintah dinilai perlu segera mengevaluasi dan menghentikan kebijakan efisiensi belanja. Pasalnya, kebijakan tersebut sudah memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menekan daya beli serta konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah.
Pernyataan itu disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menanggapi maraknya fenomena “rojali” atau “rombongan jarang beli” yang ramai diperbincangkan. Istilah itu merujuk pada aktivitas masyarakat yang mengunjungi pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat, tanpa berbelanja.
"Efisiensi belanja pemerintah ikut berkontribusi terhadap berkurangnya dompet kelas menengah, sehingga mereka berpikir ulang belanja barang-barang di luar barang-barang yang esensial," katanya.
Menurut Bhima, kelas menengah yang menjadi penggerak utama konsumsi, kini semakin terhimpit oleh kenaikan biaya hidup, inflasi pangan, harga perumahan, dan tingginya suku bunga. Pendapatan yang cenderung menurun, tak ayal membuat kunjungan ke mal hanya sebatas untuk rekreasi atau mencari hiburan.
Bhima memprediksi fenomena "rojali" ini akan terus berlanjut hingga tahun depan, diperparah oleh dampak perang dagang yang berpotensi memicu PHK di sektor padat karya. Oleh karena itu, pusat perbelanjaan harus beradaptasi dengan tren ini.
"Yang tadinya banyak menyediakan gerai baju, gerai-gerai kebutuhan sekunder, sekarang banyak yang bergeser menjadi pusat makanan dan minuman, kemudian rekreasi keluarga. Itu yang sekarang diminati," ucapnya.
Untuk membangkitkan kembali daya beli masyarakat dan mengerek konsumsi, lanjutnya, selain evaluasi efisiensi belanja pemerintah yang memicu PHK, perlu juga dipertimbangkan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi delapan persen. Termasuk kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan.
Efisiensi Berlanjut
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya melaporkan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun 2025 menjadi 4,87% secara tahunan. Angka itu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,11%.
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perlambatan ini adalah kontraksi konsumsi pemerintah sebesar 1,38%. Kontraksi itu terjadi seiring dengan kebijakan efisiensi belanja pemerintah yang mengurangi anggaran untuk perjalanan dinas serta belanja operasional perkantoran.Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memberi sinyal bahwa kebijakan efisiensi anggaran pemerintah akan berlanjut pada tahun anggaran 2026.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja meyakini, fenomena "rojali" tidak akan berlangsung lama. Menurut dia, fenomena tersebut akan berkurang apabila daya beli masyarakat kembali membaik.
"Saya kira tidak akan terus berlanjut, pemerintah kan sekarang sudah mulai banyak memberikan stimulus kebijakan-kebijakan untuk mendorong daya beli. Kalau daya belinya pulih, rojali-nya pasti berkurang," kata Alphonzus.
Paket Simulus
Perlunya stimulus ini diakui Centre of Reform on Economics (CORE). Dalam laporan CORE Mid-Year Economic Review 2025 yang dirilis di Jakarta, Jumat, menyoroti urgensi perluasan cakupan bantuan tunai langsung (BLT).
Program ini, yang terbukti ampuh menopang daya beli masyarakat, perlu difokuskan untuk menjangkau lebih banyak rumah tangga menengah ke bawah. “Dengan fokus khusus pada pemulihan kemampuan konsumsi makanan pokok,” demikian laporan tersebut.
Selain itu, CORE juga merekomendasikan pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan diskon tarif listrik. Data menunjukkan, biaya listrik menyumbang rata-rata 10% dari total pengeluaran rumah tangga di Indonesia sehingga diskon ini diharapkan dapat meringankan beban finansial masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya melaporkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2025 hanya tumbuh 4,87%, melambat dari 4,91% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah telah mengucurkan lima paket stimulus ekonomi senilai total Rp24,44 triliun selama dua bulan, yaitu Juni dan Juli. Dari jumlah tersebut, Rp23,59 triliun berasal dari APBN dan sisanya Rp0,85 triliun dari sumber non-APBN.
Stimulus ini mencakup beragam inisiatif, seperti diskon tiket transportasi, diskon tarif tol, penebalan bantuan sosial (tambahan kartu sembako Rp200 ribu per bulan dan 10 kg beras untuk 18,3 juta penerima).
Juga bantuan subsidi upah Rp300 ribu per bulan untuk 17,3 juta pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta, serta diskon iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) 50 % selama enam bulan bagi pekerja di sektor padat karya.
Namun, CORE menyebut, paket stimulus yang telah digelontorkan pemerintah ini hanya setara dengan 0,8% dari total PDB konsumsi Indonesia pada kuartal I 2025. Konsumsi rumah tangga kerap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi rumah tangga menyumbang porsi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB), sekitar 53-56 %. Pada kuartal pertama tahun 2025, kontribusinya mencapai 54,53 % dari PDB.
Ketimpangan Pengeluaran
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat ketimpangan pengeluaran (rasio gini) di Jakarta sebesar 0,441 pada Maret 2025, naik dibandingkan September 2024 sebesar 0,431.
"Ini berarti ada gap pengeluaran penduduk kelas atas dan kelas bawah semakin lebar," kata Kepala BPS DKI Jakarta Nurul Hasanudin di Jakarta, Jumat (25/7).
Hasanudin mengatakan, ketimpangan pengeluaran penduduk kelas atas dan kelas bawah yang semakin lebar ini menandakan, manfaat pertumbuhan ekonomi di ibu kota belum merata di semua kelompok masyarakat.
Distribusi pengeluaran penduduk Maret 2025 menunjukkan kelompok pengeluaran 40% terbawah mengalami penurunan sebesar 0,03% poin menjadi sebesar 16,12% dibandingkan September 2024 yang sebesar 16,15%.
Sementara untuk kelompok 20% teratas (penduduk kelas atas) justru ada kenaikan 1,01% dari semula 51,14% pada September 2024 menjadi 52,45% pada Maret 2025.
Tinggalkan Komentar
Komentar