periskop.id - Tiga lembaga think tank ekonomi yakni Indef, Core Indonesia, dan Prakarsa menyerukan reformasi fundamental pada kebijakan fiskal dan transparansi anggaran negara. 

Para ekonom menilai alokasi belanja negara saat ini sangat tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, diwarnai pemborosan, dan dibiayai oleh beban pajak yang semakin memberatkan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti yang mewakili pandangan bersama, menegaskan bahwa gelombang keresahan sosial yang terjadi berakar dari kebijakan fiskal yang gagal menciptakan keadilan.

“Republik ini membutuhkan kepemimpinan yang berani mentransformasi prioritas anggaran dari logika koersif menuju investasi produk berkelanjutan. Karena hanya dengan fondasi ekonomi yang berkeadilan Indonesia dapat mewujudkan cita-cita kemakmuran bersama,” tegas Esther dalam diskusi publik “Indonesia di Persimpangan: Ketimpangan, Reformasi Fiskal, dan Masa Depan Ekonomi” yang digelar secara daring pada Senin (1/9).

Esther memaparkan data yang menunjukkan betapa sempitnya ruang fiskal Indonesia. Ia mengungkap bahwa total kewajiban utang yang jatuh tempo pada tahun 2025 saja mencapai Rp 800,33 triliun. 

Angka ini membengkak menjadi Rp 1.353,18 triliun jika ditambah dengan pembayaran bunga utang. 

Beban berat ini, menurutnya, membuat porsi belanja rutin seperti belanja pegawai dan pembayaran utang terus meningkat, sementara alokasi untuk bantuan sosial dan belanja modal justru menyusut.

“Jomplang banget. Anggaran untuk Kementerian Pertahanan (Rp185 triliun) dan Kepolisian (Rp145 triliun) jauh lebih besar dibandingkan Kementerian Pendidikan Tinggi (Rp61 triliun) atau Kementerian Keuangan (Rp52 triliun),” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menyoroti bagaimana kebijakan fiskal pemerintah pusat berdampak langsung pada penderitaan masyarakat di daerah. 

Ia menjelaskan bahwa kebijakan pemotongan dana transfer ke daerah telah memaksa pemerintah daerah menaikkan pajak dan retribusi secara drastis, seperti yang memicu protes di Kabupaten Pati dan Bone.

“Dalam jangka pendek, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah daerah itu kecuali dia harus menaikkan pajak. Kalau tidak, mereka memikirkan cara-cara lain di antaranya misalnya pinjaman ke bank daerah,” jelas Faisal. 

Ia mendesak pemerintah untuk membatalkan semua belanja yang bersifat pemborosan. “Termasuk pembentukan lembaga-lembaga baru, pemberian fasilitas insentif, dan tunjangan yang berlebihan untuk pejabat publik, termasuk di antaranya juga tunjangan rumah untuk anggota DPR,” ujarnya.

Menambahkan, Manajer Riset The Prakarsa Roby Rushandie mendesak adanya langkah redistribusi yang lebih tajam untuk mengurangi ketimpangan. 

Ia secara spesifik mengusulkan penerapan pajak baru bagi kelompok terkaya dan penghentian fasilitas pajak bagi para pejabat.

“Presiden Prabowo perlu menerapkan pajak kekayaan pada kelompok superkaya untuk menjalankan fungsi redistribusi. Hentikan juga subsidi pembayaran PPh 21 kepada anggota DPR dan pejabat negara lainnya,” kata Roby.