periskop.id - Gelombang demonstrasi besar yang terjadi beberapa hari terakhir dipicu oleh masalah ekonomi mendasar, bukan sekadar isu politik dan campur tangan asing.
Koalisi lembaga think tank ekonomi Core Indonesia, Indef, dan Prakarsa menegaskan bahwa amarah publik adalah ledakan dari akumulasi kesulitan hidup, ketimpangan yang tajam, dan kebijakan yang dinilai tidak adil.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menyatakan pemicu utama kemarahan publik adalah “masalah perut” yang diperparah oleh rasa ketidakadilan saat melihat kebijakan pemerintah dan gaya hidup para elite.
“Di sini bukan itu ya (campur tangan asing). Ini masalah perut gitu ya. Pajak bumi dan bangunan naik drastis ya kemudian di sini tadi dikatakan bahwa ada tunjangan ya DPR pada anggota DPR yang luar biasa gitu,” kata Esther Diskusi Publik “Indonesia di Persimpangan: Ketimpangan, Reformasi Fiskal, dan Masa Depan Ekonomi”, Jakarta, Senin (1/9).
Ia menyoroti jurang pendapatan yang sangat kontras antara masyarakat biasa dengan para pejabat di tengah himpitan ekonomi yang semakin berat bagi warga.
Data yang ia paparkan menunjukkan ketimpangan tersebut, di mana upah minimum rata-rata hanya sekitar Rp5 juta, sementara pendapatan resmi anggota DPR bisa mencapai Rp104 juta.
“Jomplang banget gitu ya upah minimum tenaga kerja ya rata-rata sekitar Rp5 juta ya tapi di sini di sisi lain anggota DPR ini pendapatannya jauh lebih besar ya Rp104 juta ini yang resmi gitu ya nah berarti kan 20 kali lipatnya ini rata-rata,” ucapnya.
Direktur Core Indonesia Mohammad Faisal menyebut, gejolak sosial adalah cerminan frustrasi ekonomi kalangan menengah ke bawah yang sudah lama terpendam.
“Karena kami sangat memahami bahwa aksi demonstrasi yang berbuntut kekacauan dan penjarahan saat ini merupakan akumulasi kekecewaan, kemarahan, dan frustrasi kelompok masyarakat secara kalangan menengah bawah,” ujar Faisal.
Menurut paparannya, di balik klaim pertumbuhan, terdapat 100 juta penduduk yang hidup rentan dengan pengeluaran di bawah Rp1 juta per bulan.
Kondisi ini diperburuk dengan menipisnya bantalan ekonomi masyarakat, di mana rata-rata saldo tabungan milik 99% nasabah perbankan kini hanya tersisa Rp1,1 juta.
“Dan ini menjadi api dalam sekam yang akan mudah menyulut emosi masyarakat jika kemudian ada atau ditunggangi oleh tindakan-tindakan yang provokatif,” ucapnya.
Manager Riset dan Pengetahuan dari The Prakarsa Roby Rushandie menuturkan, persoalan ini diperdalam oleh krisis pekerjaan layak, yang membuat jutaan pekerja informal hidup dalam kerentanan.
“Dan tragedi yang menimpa Afan Kurniawan memperlihatkan bagaimana pekerja informal selama ini yang menjadi penyangga ekonomi di perkotaan namun tanpa kepastian kerja, upah layak, maupun perlindungan sosial dan juga minim dari perhatian pemerintah,” kata Roby.
Data dari The Prakarsa menunjukkan pendapatan rata-rata pengemudi ojek online (ojol) anjlok dariRp 309 ribu per hari sebelum pandemi menjadi hanya Rp175 ribu.
Sementara itu, tingkat perlindungan sosial bagi mereka sangat rendah, di mana hanya 12% dari 4,6 juta pekerja platform yang terdaftar dalam skema BPJS Kesehatan.
“Sehingga disini kalau kita lihat bagaimana masyarakat dan pekerja itu menjadi rentan dengan kondisi kerja yang tidak layak,” tutupnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar