periskop.id - Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hai ini, Rabu 5 November 2025, melemah sebesar 25 poin atau 0,15% menjadi Rp16.733 per dolar Amerika Serikat (AS).

Rupiah hari ini diperkirakan fluktuatif, namun masih relatif lemah. Pada perdagangan Selasa (4/11) kemarin, mata uang rupiah ditutup melemah 32 point sebelumnya sempat melemah 65 point di level Rp.16.708 dari penutupan sebelumnya di level Rp16.676.

“Untuk perdagangan Rabu (5/11), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang  Rp16.700 - Rp16.750,” Direktur PT Traze Andalan Futures, Ibrahim Assuaibi dalam ulasannya, Rabu (5/11).

Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menganggap pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah didorong kekhawatiran investor terkait siklus pemotongan suku bunga yang tertunda oleh Federal Reserve (The Fed). Dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 29 Oktober 2025, The Fed telah memangkas suku bunga acuan 25 basis points (bps) menjadi kisaran 3,75-4%.

Namun demikian, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan belum ada kepastian untuk pemangkasan lanjutan, yang mana terdekat The Fed kembali menggelar pertemuan FOMC pada 9-10 Desember 2025.

“Pernyataan dari pejabat Fed (terkait penurunan estimasi pemangkasan suku bunga Fed) mendorong depresiasi rupiah,” ujar dia , dikutip dari Antara.

Sejak pengumuman kebijakan moneter The Fed yang terakhir, ekspektasi pemangkasan suku bunga AS selanjutnya menurun dari kisaran 94 persen ke kisaran 65%. Tekanan terhadap rupiah semakin meningkat pasca pernyataan dari pejabat The Fed mengungkapkan adanya skeptisisme yang berkembang di kalangan pembuat kebijakan mengenai kebutuhan pemotongan suku bunga tambahan.

Sentimen lain berasal dari laporan Badan Pusat Statistik yang merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal ketiga 2025 pada siang nanti.

“Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 5,04 persen secara tahunan dibandingkan 5,12 persen pada kuartal sebelumnya, terutama akibat perlambatan pada Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang tercermin dari penurunan penjualan semen dan perlambatan pertumbuhan impor barang modal,” kata Josua.