Periskop.id - Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang akan disahkan, tidak mengatur penyadapan sama sekali.
Pernyataan ini diungkapkannya menjawab informasi, KUHAP baru mengatur agar Polisi bisa menyadap secara sewenang-wenang tanpa izin pengadilan. Termasuk membekukan sepihak tabungan dan semua jejak online, mengambil ponsel, laptop, dan data. Juga beredar hoaks, polisi bisa sewenang-wenang menangkap, menggeledah, melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana.
"Informasi tersebut di atas adalah hoaks, alias tidak benar sama sekali," kata Habiburokhman di Jakarta, Selasa (18/11).
Dia menjelaskan, ketentuan yang benar adalah, dalam Pasal 136 ayat (2) KUHAP baru, penyadapan akan diatur secara khusus di UU yang mengatur soal penyadapan yang baru akan dibahas setelah pengesahan KUHAP baru. Untuk saat ini pendapat sebagian besar fraksi di DPR menyatakan, penyadapan harus dilakukan sangat hati-hati dan harus dengan izin pengadilan.
"Ketentuan tersebut justru yang akan menjadi pondasi pengaturan penyadapan di UU Penyadapan nantinya," tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP baru, semua bentuk pemblokiran termasuk pemblokiran tabungan dan jejak online harus mendapat izin hakim. Lalu, Pasal 44 KUHAP juga menegaskan, semua bentuk penyitaan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.
Kemudian, dia menyampaikan, penangkapan, penahanan, dan penggeledahan juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan syarat yang sangat ketat.
Dalam Pasal 94 dan Pasal 99 KUHAP baru, menurut dia, penangkapan dilakukan dengan setidaknya dua alat bukti. Lalu, penahanan baru bisa dilakukan apabila terdakwa mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, memberikan informasi tidak sesuai fakta, dan menghambat proses pemeriksaan. Juga berupaya melarikan diri, melakukan ulang pidana, terancam keselamatannya, mempengaruhi saksi untuk berbohong.
"Sementara penggeledahan diatur Pasal 112 KUHAP baru bisa dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri," serunya.
Menurut dia, naskah RUU KUHAP bisa di dilihat di laman resmi DPR, dan rekaman pembahasan KUHAP bisa dilihat di kanal YouTube TV Parlemen. "Jangan percaya dengan hoaks, KUHAP baru harus segera disahkan mengganti KUHAP lama yang tidak adil," imbuhnya.
Rapat Paripurna
Sekadar informasi, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam rapat paripurna, Selasa (18/11).
Agenda Rapat Paripurna Ke-8 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 mencatat, jadwal rapat dimulai pada Selasa pukul 09.30 WIB. Dalam agenda rapat paripurna itu, pengesahan RUU KUHAP menjadi agenda kedua.
Adapun pengambilan keputusan itu dilakukan setelah Komisi III DPR RI menetapkan, pembahasan RUU itu telah rampung dan akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Berbagai substansi perubahan KUHAP itu antara lain, soal penguatan peran pengacara, perlindungan hak saksi, tersangka, dan korban, hingga pengaturan soal keadilan restoratif atau restorative justice.
Selain soal KUHAP, rapat paripurna itu juga diagendakan membahas penyampaian Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I BPK RI Tahun 2025,
Agenda lain, membahas pendapat fraksi-fraksi Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. RUU itu merupakan usul inisiatif Badan Legislasi DPR RI, dan akan dilanjutkan dengan pengambilan keputusan menjadi RUU Usul DPR RI
Selanjutnya, laporan Komisi XI DPR RI atas hasil uji kelayakan (fit and proper test) terhadap Kantor Akuntan Publik (KAP) Pemeriksaan Laporan Keuangan BPK RI Tahun 2025 dilanjutkan dengan Pengambilan Keputusan. Agenda yang terakhir yakni penetapan penyesuaian mitra komisi, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan.
Tinggalkan Komentar
Komentar