Periskop.id - Syarat penahanan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengalami perubahan besar melalui revisi regulasi yang dibahas dalam paparan Habiburokhman pada Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026, di Jakarta, Kamis (18/11). Revisi ini menandai pergeseran dari ketentuan lama yang dinilai terlalu subjektif menuju standar yang lebih terukur dan berbasis bukti.

Dalam KUHAP sebelumnya, penahanan dapat dilakukan hanya berdasarkan tiga kekhawatiran subjektif: potensi tersangka melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Rumusan tersebut dianggap terlalu lentur dan membuka ruang tafsir luas dalam praktik penegakan hukum.

Melalui KUHAP yang baru, pemerintah menetapkan standar yang lebih objektif. Penahanan hanya dapat dilakukan apabila terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah serta memenuhi kondisi tertentu yang lebih spesifik. 

Kriteria tersebut meliputi tindakan tersangka mengabaikan panggilan penyidik dua kali berturut-turut tanpa alasan sah, memberikan informasi tidak sesuai fakta, menghambat jalannya pemeriksaan, atau berupaya melarikan diri.

Selain itu, penahanan dapat dilakukan apabila tersangka berupaya merusak atau menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana, memengaruhi saksi untuk memberikan keterangan yang tidak benar, atau penahanan diperlukan demi menjaga keselamatannya atas persetujuan tersangka.

Perubahan ini disebut memperkuat aspek akuntabilitas dan mendorong proses peradilan yang lebih adil dengan mengurangi ruang subjektivitas dalam keputusan penahanan.