Periskop.id - Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru membawa perubahan signifikan dalam menjamin hak-hak tersangka dan mengakomodasi mekanisme penyelesaian perkara di luar pengadilan. Regulasi ini menegaskan pergeseran paradigma hukum pidana Indonesia menuju standar keadilan (fairness), transparansi, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih tinggi.

Informasi ini disampaikan dalam paparan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026, di Jakarta, Kamis (18/11).

Jaminan Hak Tersangka yang Lebih Luas

Habiburokhman menjelaskan bahwa jaminan hak tersangka dalam KUHAP yang lama sangat terbatas, hanya mencakup hak dasar seperti segera diperiksa, diberi tahu sangkaan, didampingi penasihat hukum, mengajukan saksi meringankan, hingga memperoleh ganti rugi dan praperadilan.

Dalam KUHAP yang baru, jaminan hak Tersangka diperluas secara fundamental, mencakup beberapa poin krusial yang sebelumnya tidak diatur. Di antaranya adalah hak untuk menolak memberikan keterangan kepada penyidik. 

Selain itu, Tersangka kini mendapatkan hak komunikasi yang lebih luas dengan berbagai pihak, termasuk keluarga, dokter, rohaniwan, hingga perwakilan dari negara asal bagi Warga Negara Asing, serta hak untuk memperoleh salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Perlindungan khusus juga ditekankan, di mana hak Tersangka kini mencakup hak mengajukan keadilan restoratif, serta perlindungan khusus bagi kelompok rentan, penyandang disabilitas, dan perempuan. 

Secara menyeluruh, RUU KUHAP ini secara tegas menegaskan larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, yang menunjukkan peningkatan standar keadilan, transparansi, dan perlindungan HAM dalam proses peradilan pidana.

Keadilan Restoratif Resmi Diatur Penuh

Aspek penting lain dalam reformasi KUHAP adalah legalisasi dan pengaturan penuh keadilan restoratif (restorative justice). RUU ini telah mendefinisikan hal ini dalam Pasal 1 angka 21, memberikan dasar hukum yang kuat untuk praktik ini.

Sebagai informasi, restorasi justice adalah pendekatan penyelesaian kasus pidana yang berfokus pada pemulihan, bukan hukuman. Pendekatan ini melibatkan dialog antara pelaku, korban, dan pihak terkait untuk mencapai kesepakatan yang adil, mengembalikan hubungan yang rusak, dan memberikan kesempatan pelaku untuk memperbaiki diri. Tujuannya adalah untuk memulihkan kondisi korban dan memberikan tanggung jawab kepada pelaku melalui rekonsiliasi, bukan pembalasan. 

KUHAP baru memberikan wewenang kepada penyidik (Pasal 7 huruf k) untuk melakukan penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif, dan mengatur penghentian penyidikan karena tercapainya penyelesaian restoratif dalam Pasal 24 ayat (2) huruf h. 

Pengaturan soal restorative justice dirinci lengkap dalam Pasal 79 hingga 88, mencakup mekanisme, proses, hingga pelaksanaan kesepakatan dan penetapan pengadilan. KUHAP juga menjamin bagi pelaku untuk memenuhi seluruh kesepakatan (Pasal 79). Pengaturan ini juga meliputi ganti rugi, kompensasi, restitusi, dan dana abadi yang dirancang untuk mengoptimalkan pemulihan hak korban.