periskop.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan alasan mengapa proses penyidikan kasus dugaan korupsi kuota haji masih terus bergulir hingga saat ini. Banyaknya entitas bisnis yang terlibat membuat penyidik harus bekerja ekstra hati-hati dalam mengumpulkan bukti.

“Kenapa penyidikan ini masih terus berlangsung? Karena memang penyelenggara ibadah haji, yaitu para biro travel ini memang sangat banyak, jumlahnya mungkin lebih dari 400 biro travel,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung KPK, Jumat (21/11).

Budi menjelaskan tim penyidik kini tengah melakukan pemeriksaan maraton terhadap Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau biro travel, termasuk menyita sejumlah aset terkait.

Kompleksitas kasus bertambah karena beragamnya modus jual-beli kuota yang dilakukan PIHK.

Ada biro travel yang menjual kuota haji khusus ke biro lain, menyebabkan harga melambung saat berpindah tangan.

Ada pula PIHK yang menjual langsung ke calon jemaah, sehingga KPK perlu menelusuri kesesuaian fasilitas layanan dengan harga yang dibayarkan.

Penyidik menduga selisih harga tersebut menjadi pintu masuk aliran dana haram ke penyelenggara negara.

“Mengapa kita perlu mengkonfirmasi dan melihat adanya selisih tersebut? Karena memang dalam konstruksi utuh perkara ini diduga ada aliran-aliran uang dari PIHK atau biro travel kepada pihak-pihak di Kementerian Agama (Kemenag),” ungkap Budi.

Fokus utama penyidikan mengarah pada diskresi Kementerian Agama (Kemenag) terkait pembagian kuota tambahan 20.000 dari pemerintah Arab Saudi.

Seharusnya, tambahan kuota ini diprioritaskan untuk memangkas antrean haji reguler yang sangat panjang, bahkan mencapai 30-40 tahun di beberapa daerah.

Berdasarkan aturan, pembagian kuota seharusnya 92 persen untuk reguler dan 8 persen untuk khusus. Namun, Kemenag mengeluarkan diskresi membagi rata 50:50.

“Tapi kemudian diskresi dilakukan oleh Kementerian Agama yang tentunya bertentangan dengan peraturan perundangan jadi 50:50. Nah diskresi ini apakah inisiatif murni dari Kementerian Agama atau juga ada dorongan ada motif-motif lain dari para pihak ini juga didalami,” tutur Budi.

Diskresi ini menyebabkan jatah PIHK melonjak drastis dari yang seharusnya 1.600 menjadi 10.000 kuota.

Lonjakan ini berdampak langsung pada omzet dan keuntungan berlipat bagi biro travel, yang kini sedang didalami hubungannya dengan asosiasi PIHK.

Dampak paling miris dari praktik ini adalah rusaknya sistem antrean. Calon jemaah yang mampu membayar mahal bisa langsung berangkat tanpa antre, menyalip mereka yang sudah menunggu bertahun-tahun.

“Misalnya, di haji khusus ini lama antreannya 5 tahun... Tapi fakta di lapangan, dalam kasus ini, ada pihak yang langsung bisa membeli kuota ibadah haji khusus ini, artinya calon jemaah tanpa perlu mengantri,” jelas Budi.

Kondisi ini sangat merugikan masyarakat yang sudah puluhan tahun menabung dan mengantre, namun gagal berangkat karena kuotanya diperjualbelikan.

Sebagai informasi, KPK telah memulai penyidikan kasus ini sejak 9 Agustus 2025 dengan dugaan kerugian negara awal mencapai lebih dari Rp1 triliun.

Tiga orang telah dicegah ke luar negeri, salah satunya mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang juga sempat diperiksa pada tahap penyelidikan.