Periskop.id- Mahkamah Konstitusi didesak untuk menghapus ketentuan yang dinilai dapat menjadi celah polisi aktif menduduki jabatan sipil. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 19 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

Ihwal penghapusan itu dimintakan advokat Zico Leonardo Simanjuntak dalam perkara uji materi nomor 223/PUU-XXIII/2025. Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan perkara itu telah digelar MK di Jakarta, Selasa (25/11). 

“​Menyatakan frasa 'anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia' dalam Pasal 19 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata kuasa hukum pemohon Ratu Eka Shaira, dalam persidangan.

Adapun Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan, jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Polri. Pasal 19 ayat (3) mengatur, pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada instansi pusat, sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai TNI dan Polri.

Sementara itu, Pasal 19 ayat (4) mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri, serta tata cara pengisiannya diatur dalam peraturan pemerintah.

Menurut Zico, pasal-pasal yang diuji itu tidak sejalan dengan semangat putusan MK baru-baru ini, yakni Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun.

Diketahui, MK dalam putusan tersebut menghapus frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Terhambat Norma Lain

Ratu Eka mengatakan, semangat utama putusan MK sejatinya mengarah pada larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil. Namun, implementasinya dinilai terhambat oleh keberadaan norma lain yang masih memperbolehkan, seperti dalam Undang-Undang ASN.

Ia menyebut, norma yang justru memberikan dasar hukum eksplisit polisi aktif masih dimungkinkan menduduki jabatan sipil, terlepas dari putusan MK itu, yakni Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan jabatan ASN tertentu dapat diisi anggota Polri.

"Selama norma ini tetap berlaku, rangkap jabatan masih diperkenankan terlepas dari pembatalan frasa kecil dalam undang-undang kepolisian," ucap Ratu Eka.

Dalam perkara ini, Zico juga menguji Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri, yakni pasal yang sebelumnya telah dikabulkan permohonan pengujiannya oleh Mahkamah lewat Putusan 114/PUU-XXIII/2025.

Setelah putusan Mahkamah, redaksional bagian penjelasan dimaksud berubah menjadi "Yang dimaksud dengan 'jabatan di luar kepolisian' adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian."

Menurut Zico, pascaputusan MK, bunyi Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri dan penjelasannya tampak harmonis pada permukaan. Namun, ia menilai, terdapat kontradiksi semantik di dalamnya.

"Terdapat kontradiksi semantik antara frasa jabatan di luar kepolisian yang berbasis struktur dan jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian yang berbasis fungsi. Keduanya menghasilkan ruang tafsir yang berbeda dan tidak dapat berlaku secara konsisten dalam sistem hukum,” jelas Ratu Eka.

Ia mendalilkan ketidaksinkronan norma ini berpotensi menimbulkan implikasi konstitusional yang serius. Oleh sebab itu, dalam petitumnya, Zico meminta Mahkamah untuk menghapus Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri secara keseluruhan.

Evaluasi Putusan MK

Sebelumnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB), mengundang Polri untuk evaluasi dan membahas tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

Menteri PANRB Rini Widyantini mengatakan, jajarannya telah mengantongi data-data soal anggota Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil di berbagai institusi pemerintahan. Ia mengatakan, dirinya dan Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo akan segera mengevaluasi, apakah jabatan sipil tersebut memang harus ditempati oleh seseorang dengan kompetensi kepolisian.

"Saya dengan Kapolri mesti mempelajari dalam hal apa saja dia bisa diisi, karena memang ada beberapa jabatan-jabatan yang memang kita harus evaluasi, apakah memang itu kompetensinya bisa diisi oleh Polri atau tidak, memang harus dilakukan evaluasi seperti itu," ujarnya.

Rini mengatakan saat ini fokus KemenPANRB adalah memastikan anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil sesuai dengan kompetensinya. Ia mengatakan kompetensi utama Polri adalah di bidang pengamanan.

Dengan begitu, anggota Polri bisa saja menduduki jabatan di instansi sipil yang bergerak di bidang pengamanan, karena memang yang paling penting itu memastikan, sesuai dengan kompetensinya.

"Kompetensinya kepolisian tentunya untuk di bidang pengamanan, apakah sesuai dengan itu? Misalnya seperti di BNN. BNN kan memang kaitannya dengan masalah pengamanan mungkin itu bisa, contohnya seperti itu," tuturnya.

Seperti diketahui, MK menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Namun, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menilai, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang terlanjur sudah duduk di jabatan sipil tak perlu mundur. Dia mengatakan putusan itu tidak berlaku bagi situasi yang sudah terjadi. Ia hanya menegaskan, ke depannya anggota Polri tak boleh lagi diusulkan untuk menduduki jabatan sipil.

"Bagi mereka sekarang yang sudah menjabat sekarang, kecuali kepolisian menarik, mereka tidak perlu mengundurkan, karena kan mereka menjabat sebelum ada putusan MK," kata Supratman.

Menurut dia, hal itu pun akan dibahas di Komisi Percepatan Reformasi Polri. Khususnya untuk memilah jabatan-jabatan sipil yang punya keterkaitan dengan tugas pokok dan fungsi kepolisian.

Misalnya, kata dia, ada lembaga-lembaga yang memiliki keterkaitan dengan kepolisian yakni Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Selain itu, menurut dia, ada juga kementerian-kementerian yang memiliki direktorat penegakan hukum.

"Untuk putusan MK sekarang, saya berpandangan bahwa itu sudah harus berlaku bagi yang baru, yang diusulkan baru. Tapi yang sudah menjabat, tidak perlu mengundurkan diri," tegasnya.