periskop.id - Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tengah mempercepat evaluasi harga rumah subsidi di berbagai daerah. Langkah ini dilakukan untuk menekan angka backlog perumahan nasional yang kini diperkirakan mencapai 9,9 juta unit. 

Backlog adalah selisih antara kebutuhan rumah dengan ketersediaan, dan menjadi salah satu tantangan besar dalam sektor perumahan Indonesia.

Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan PKP, Sri Haryati, menegaskan bahwa pihaknya turun langsung ke daerah untuk memahami persoalan di lapangan. 

“Kami keliling ke daerah untuk mengetahui masalah, termasuk isu harga tanah sehingga perlu penyesuaian harga,” ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (25/11).

PKP telah menyiapkan sejumlah kajian, termasuk opsi pembangunan rumah vertikal di perkotaan. Skema pembiayaan akan memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang selama ini menjadi tulang punggung program rumah subsidi. Skema ini terbukti membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memperoleh akses kepemilikan rumah dengan bunga rendah.

Pembahasan evaluasi harga dilakukan bersama Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), perbankan, pengembang, serta masyarakat sebagai konsumen. Menurut Sri Haryati, setiap daerah memiliki karakteristik berbeda, mulai dari kemampuan bayar MBR hingga harga tanah yang bervariasi. 

“Insya Allah 2026 kami upayakan untuk bisa dijalankan,” tambahnya.

Kuota rumah subsidi nasional juga terus ditingkatkan. Pada 2025, kuota naik dari 220 ribu menjadi 350 ribu unit. Pemerintah menargetkan pada 2026 kuota tersebut bisa mencapai 500 ribu unit. Hingga November 2025, realisasi rumah subsidi sudah mencapai lebih dari 223 ribu unit, menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap program ini.

Di sisi lain, pengembang menghadapi tantangan serius terkait harga tanah. I Gede Suardita, pengembang Perumahan Griya Multi Jadi Tabanan, berharap pemerintah menaikkan harga jual rumah subsidi di Bali. 

“Kami berharap harga jual rumah subsidi bisa di atas Rp200 juta, dari yang saat ini Rp185 juta dengan luas 60 meter persegi,” katanya.

Harga tanah di Bali, khususnya di Tabanan, terus melonjak. Di kawasan Sanggulan, harga tanah sudah mencapai Rp1 juta per meter, jauh di atas batas maksimal Rp600 ribu per meter untuk rumah subsidi. Kondisi ini membuat pengembang sulit menjaga margin keuntungan, meski mereka tetap berkomitmen menyediakan rumah bagi MBR.

Suardita menambahkan, pihaknya telah membangun 2.000 unit rumah, dengan 50% di antaranya merupakan rumah subsidi yang sudah terjual. Namun, jika harga jual tidak disesuaikan, pengembang di Tabanan diperkirakan akan beralih ke segmen komersial pada 2026. 

“Konsep kami berjualan sambil ber-yadnya (beramal), tapi kalau terus menerus, kami bisa rugi,” ujarnya.

Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa harga rumah subsidi di Bali ditetapkan melalui Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023. Zonasi harga juga berlaku di wilayah lain seperti Jabodetabek, Maluku, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Anambas. Namun, disparitas harga tanah antarwilayah membuat kebijakan ini perlu penyesuaian agar tetap relevan.

Menurut riset Bank Dunia, harga rumah di Indonesia tumbuh rata-rata 7%–10% per tahun, sementara kenaikan pendapatan masyarakat hanya sekitar 4%–5%. Ketimpangan ini memperbesar risiko backlog. Oleh karena itu, evaluasi harga rumah subsidi menjadi krusial agar program tetap berkelanjutan dan mampu menjawab kebutuhan jutaan keluarga yang belum memiliki rumah.