Periskop.id - Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Mariano Grossi merasakan, ada kecenderungan sejumlah negara pertimbangan untuk meningkatkan persenjataan nuklir, dibandingkan upaya perlucutannya. Hal ini dikatakan Rafael saat bertemu dengan Paus Leo XIV, Jumat (5/9). 

'Saya pikir apa yang kita lihat secara umum adalah peningkatan persenjataan nuklir, alih-alih perlucutan senjata. Jadi, banyak negara sedang memperbaiki dan meningkatkan persenjataan nuklir mereka," ujar Grossi kepada Vatican News

Dia menuturkan, negara-negara yang tidak memiliki persenjataan nuklir, mulai berbicara lebih terbuka mengenai kemungkinan perlunya memiliki jenis persenjataan seperti itu.

"Yang kami lihat adalah bahwa banyak negara, termasuk negara-negara penting di Barat atau bagian dari Barat yang lebih luas, juga di Asia, mulai berpikir, melihat situasi sekarang, mungkin pada akhirnya memiliki senjata nuklir adalah sesuatu yang perlu. Dan inilah yang harus kita cegah," tegas Grossi.

Ia menegaskan, kembali perlunya menghentikan tren peningkatan senjata nuklir ini, dan menganggap "hal itu sangat penting. "

Grossi juga memperingatkan, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia (Zaporizhzhia Nuclear Power Plant/ZNPP) di Ukraina, masih beresiko terkena serangan di tengah konflik yang sedang berlangsung.

"Kalau kita lihat peta, kita bisa melihat bahwa PLTN ini berada tepat di garis depan. Jadi, kemungkinan terjadinya sesuatu sangat tinggi," ujarnya.

Tim IAEA di ZNPP mendengar beberapa tembakan artileri yang berasal dari area yang sangat dekat dengan perimeter situs tersebut, kata Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi dalam sebuah pernyataan.
"Indikasi aktivitas militer yang terjadi sangat dekat dengan PLTN utama ini sangat mengkhawatirkan. Seperti yang telah saya berulang kali nyatakan, pengendalian militer maksimum di dekat PLTN harus dilakukan untuk mencegah risiko kecelakaan nuklir," kata Grossi.

Nuklir Iran
Sekadar informasi baru-baru ini Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran menyetujui kembalinya para inspektur dari badan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), demikian disampaikan Menteri Luar Negeri Iran Seyed Abbas Araghchi pada Rabu (27/8).

Araghchi mengatakan, kepada kantor berita pemerintah Iran, IRNA, para inspektur tersebut diizinkan masuk untuk mengawasi penggantian bahan bakar di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Bushehr.

Araghchi juga membantah laporan bahwa Iran dan IAEA telah menyepakati sebuah kerangka kerja sama baru. Ia mengatakan, tidak ada naskah yang telah difinalisasi meskipun telah terjadi pertukaran proposal.

Kepala IAEA Rafael Grossi pada Selasa (26/8) menuturkan, para inspektur dari badan atom tersebut telah kembali ke Iran untuk pertama kalinya sejak harus keluar dari negara tersebut selama konflik pada Juni lalu.

"Saat ini, tim pertama inspektur IAEA telah kembali ke Iran, dan kami akan memulai kembali," ujarnya.

Iran menangguhkan kerja sama dengan IAEA pada awal Juli, setelah Presiden Iran Masoud Pezeshkian menandatangani sebuah rancangan Undang-Undang parlemen yang membatasi akses ke lokasi-lokasi nuklir.

Langkah tersebut dilakukan setelah serangan Israel dan Amerika Serikat terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran. Teheran menuduh IAEA, khususnya Grossi, berpihak ke Barat dan gagal mengecam serangan-serangan tersebut.

Restriksi itu, yang membutuhkan persetujuan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran untuk kunjungan inspektur telah menimbulkan kekhawatiran dari Sekretaris Jenderal PBB. Juga seruan baru dari Israel untuk memberlakukan kembali sanksi PBB terhadap Iran.

Inggris, Prancis, dan Jerman pun mengaitkan kerja sama Iran dan IAEA itu dengan keputusan ketiga negara tersebut, apakah akan memulai mekanisme pemulihan sanksi (snapback sanctions) PBB pada akhir Agustus. Teheran telah menolak legalitas langkah tersebut.